Membaca atau Menonton? Mana yang Lebih Baik?
Pada era serba
digital sekarang ini, profesi seorang bloger hampir tersingkirkan dengan
profesi sebagai seorang
youtuber. Mengapa demikian? Karena memang pada kenyataannya, sekarang orang
lebih menyukai menonton video dalam
bentuk visual yang bergerak dari
pada membaca (baik itu dalam bentuk buku ataupun tulisan biasa). Beberapa orang
menganggap bahwa menonton itu lebih simpel dari pada harus membaca; hanya duduk
melihat dan mendengarkan maka informasi sudah bisa didapatkan dari pada harus
mengeluarkan tenaga untuk membaca.
Secara tidak
langsung, berdasarkan alasan di atas, tak
sedikit juga para blogger beralih
menjadi youtuber; blog yang semakin
jarang diisi konten tulisan,
lebih banyak mengutamakan membuat video.
Bahkan ada yang
benar-benar meninggalkan dunia blog. Come
on guys!
Memang betul,
kalau kita tidak mengikuti
perkembangan zaman, bagaimana kita mau maju? Tapi tidak demikian, bagi kamu
para bloger yang benar-benar meninggalkan dunia blog dan beralih menjadi
seorang video maker (youtubers), saya sarankan untuk kembali sadar. Mengapa
demikian? wanKawan membaca tulisan itu pada dasarnya lebih baik dari pada
menonton. Sampai kapanpun hal ini akan tetap berlaku. Hal ini juga dijelaskan
pada artikel website National Geographic:
Selama ribuan tahun cerita disampaikan melalui lembaran buku. Tetapi dengan munculnya teknologi baru, manusia mengisahkan kenangan, penemuan, cerita, atau pun pelajaran hidup melalui berbagai media. Salah satu yang paling revolusioner adalah televisi.
Para peneliti telah menghabiskan ribuan jam untuk mempelajari bagaimana TV mempengaruhi otak kita dengan cara yang berbeda dengan buku. Berikut ini perbandingan pengaruh televisi dan buku terhadap otak kita.
Tahun 2003, tim peneliti dari Ohio State University mewawancara dan menguji 107 anak-anak prasekolah dan orangtua untuk melihat dampak televisi terhadap teori pikiran anak-anak. Teori pikiran ialah kemampuan memahami bahwa orang lain memiliki pemikiran, perasaan dan kepercayaan yang berbeda dengan diri kita sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terlalu banyak menonton atau terpapar televisi membuat teori pikiran anak terganggu.
“Anak yang teori pikirannya berkembang akan lebih mampu berpartisipasi dalam hubungan sosial, “ ujar pemimpin peneliti Amy Nathanson, yang merupakan profesor komunikasi di Ohio State University. “Mereka dapat terlibat interaksi secara lebih sensitif dan koorperatif dengan anak-anak lain dan cenderung tak menggunakan agresi (serangan) untuk mencapai tujuan.”
Studi lebih lanjut pada tahun 2005 yang dipublikasikan di jurnal Cerebral Cortexmengungkap, menonton TV terlalu banyak dapat mengubah komposisi otak manusia. Ketika peneliti meneliti 276 anak-anak usia antara 5-18 tahun, mereka menemukan bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan anak-anak itu di depan TV, semakin tebal wilayah lobus frontal otak mereka. Itu adalah wilayah yang sama yang dikenal untuk menurunkan pengolahan bahasa dan komunikasi. Itulah sebabnya mereka memiliki IQ verbal yang lebih rendah.
Tapi itu belum semuanya: hipotalamus, septum, wilayah motorik sensorik dan korteks visual juga membesar. Semua itu merupakan bagian otak yang memproses respon emosional, gairah, agresi dan pengelihatan. Mungkin, itulah sebabnya peningkatan paparan TV terhadap anak di bawah usia tiga tahun berkorelasi dengan tertundanya kemahiran berbahasa, sehingga membutuhkan waktu beberapa tahun bagi mereka untuk mengejar ketertinggalan.
Ketika memasuki masa sekolah, anak yang menonton TV dua jam atau lebih sehari kemungkinan besar mengalami kesulitan psikologi, termasuk hiperaktif, masalah emosional dan perilaku, serta konflik sosial dengan teman-temannya di kelas. Survei yang dilakukan oleh Pew Research Center menemukan 15 persen orang membaca buku untuk ‘melarikan diri’ ke dunia imajinasi mereka. Sementara 26 persen orang yang membaca buku mengatakan bahwa mereka menikmati belajar, memperoleh pengetahuan dan menemukan informasi dari membaca buku.
Selain dari segi kesenangan, ternyata membaca juga memiliki manfaat bagi kesehatan. Membaca memperkuat jalur saraf Anda. Bahkan di usia muda, anak yang dibacakan buku oleh orangtuanya mengembangkan lima kemampuan membaca, termasuk kosakata yang lebih banyak, pengenalan kata melalui ucapan, kemampuan untuk menghubungkan huruf tertulis dengan yang dilisankan, pemahaman terhadap bacaan, dan kelancaran untuk membaca teks secara akurat dan cepat.
Sebuah studi yang dilakukan oleh tim peneliti dari Emory University mengungkap bahwa buku dapat merangsang perubahan dalam konektivitas otak. Dari penelitian tersebut, peneliti mengungkapkan bahwa otak partisipan masih menunjukkan tingkat konektivitas yang sama dengan saat membaca, meski waktu membaca sudah lima hari berlalu.
Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa membaca cerita dapat mengatur ulang jaringan otak selama beberapa hari. Hal ini juga mungkin menunjukkan bagaimana peran kegiatan membaca dalam membentuk otak anak.
Para peneliti telah menghabiskan ribuan jam untuk mempelajari bagaimana TV mempengaruhi otak kita dengan cara yang berbeda dengan buku. Berikut ini perbandingan pengaruh televisi dan buku terhadap otak kita.
Tahun 2003, tim peneliti dari Ohio State University mewawancara dan menguji 107 anak-anak prasekolah dan orangtua untuk melihat dampak televisi terhadap teori pikiran anak-anak. Teori pikiran ialah kemampuan memahami bahwa orang lain memiliki pemikiran, perasaan dan kepercayaan yang berbeda dengan diri kita sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terlalu banyak menonton atau terpapar televisi membuat teori pikiran anak terganggu.
“Anak yang teori pikirannya berkembang akan lebih mampu berpartisipasi dalam hubungan sosial, “ ujar pemimpin peneliti Amy Nathanson, yang merupakan profesor komunikasi di Ohio State University. “Mereka dapat terlibat interaksi secara lebih sensitif dan koorperatif dengan anak-anak lain dan cenderung tak menggunakan agresi (serangan) untuk mencapai tujuan.”
Studi lebih lanjut pada tahun 2005 yang dipublikasikan di jurnal Cerebral Cortexmengungkap, menonton TV terlalu banyak dapat mengubah komposisi otak manusia. Ketika peneliti meneliti 276 anak-anak usia antara 5-18 tahun, mereka menemukan bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan anak-anak itu di depan TV, semakin tebal wilayah lobus frontal otak mereka. Itu adalah wilayah yang sama yang dikenal untuk menurunkan pengolahan bahasa dan komunikasi. Itulah sebabnya mereka memiliki IQ verbal yang lebih rendah.
Tapi itu belum semuanya: hipotalamus, septum, wilayah motorik sensorik dan korteks visual juga membesar. Semua itu merupakan bagian otak yang memproses respon emosional, gairah, agresi dan pengelihatan. Mungkin, itulah sebabnya peningkatan paparan TV terhadap anak di bawah usia tiga tahun berkorelasi dengan tertundanya kemahiran berbahasa, sehingga membutuhkan waktu beberapa tahun bagi mereka untuk mengejar ketertinggalan.
Ketika memasuki masa sekolah, anak yang menonton TV dua jam atau lebih sehari kemungkinan besar mengalami kesulitan psikologi, termasuk hiperaktif, masalah emosional dan perilaku, serta konflik sosial dengan teman-temannya di kelas. Survei yang dilakukan oleh Pew Research Center menemukan 15 persen orang membaca buku untuk ‘melarikan diri’ ke dunia imajinasi mereka. Sementara 26 persen orang yang membaca buku mengatakan bahwa mereka menikmati belajar, memperoleh pengetahuan dan menemukan informasi dari membaca buku.
Selain dari segi kesenangan, ternyata membaca juga memiliki manfaat bagi kesehatan. Membaca memperkuat jalur saraf Anda. Bahkan di usia muda, anak yang dibacakan buku oleh orangtuanya mengembangkan lima kemampuan membaca, termasuk kosakata yang lebih banyak, pengenalan kata melalui ucapan, kemampuan untuk menghubungkan huruf tertulis dengan yang dilisankan, pemahaman terhadap bacaan, dan kelancaran untuk membaca teks secara akurat dan cepat.
Sebuah studi yang dilakukan oleh tim peneliti dari Emory University mengungkap bahwa buku dapat merangsang perubahan dalam konektivitas otak. Dari penelitian tersebut, peneliti mengungkapkan bahwa otak partisipan masih menunjukkan tingkat konektivitas yang sama dengan saat membaca, meski waktu membaca sudah lima hari berlalu.
Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa membaca cerita dapat mengatur ulang jaringan otak selama beberapa hari. Hal ini juga mungkin menunjukkan bagaimana peran kegiatan membaca dalam membentuk otak anak.
Selain daripada itu, ternayata membaca juga berbahaya loh!
Kok bisa? Jelas berbahaya jika kita tidak memiliki pengetahuan dalam membaca
yang baik dan benar. Hal ini pernah aku jelaskan pada postingan sebelumnya
wanKawan (mau baca lebih detail baca: Without reading capability, reading is dangerous - Nuruddin Asyhadie ). Jadi, membaca itu bisa berbahaya
jika:
- Tidak memerhatikan posisi tubuh saat membaca. Jika kita ingin membaca untuk waktu yang lama, kita harus memerhatikan posisi tubuh yang baik dan nyaman. Salah satu contohnya, jarak mata dengan buku yang kita baca sekitar 30 – 40 cm; tidak membaca sambil tidur; membacalah pada posisi punggung tegak tapi relax.
- Perhatikan kecerahan ruangan tempat kamu membaca. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/02: kecerahan ruangan tempat bekerja harus sekitar 300 LUX (termasuklah aktivitas membaca). Kriteria lampu terbaik untuk membaca adalah lampu dengan cahaya warna biru dan fokus, contohnya Lampu CFL dan Halogen. “Did you know that there are relation between brightness and colour of paper. May be you ever felt when you are reading a book which the book use white paper, your eyes easier wetless than grey paper. It caused, white paper reflect all light wavelength compared grey paper.”
- Membaca pada smarthphone sebelum tidur. Membaca bacaan pada smarthphone sebelum tidur bisa berefek pada kualitas tidur dibandingkan dengan membaca buku pada media kertas.
- Membaca SMS yang panjang saat sedang mengendarai kendaraan. #gubrak
Beberapa bulan
yang lalu Jawa Pos sempat menjelaskan melalui artikelnya yang berjudul: ‘Minat
Baca Orang Indonesia Nomor Dua Terbawah’. Waw aku akui memang mayoritas orang
Indonesia lebih suka menonton dari pada membaca. Tapi, seharusnya perihal ini
bisa imbang antara membaca dan menonton. Berikut kutipan dari Jawa Pos tersebut:
Sementara berdasarkan pemeringkatan Programme for Internasional Student Assessment (PISA) yang dilakukan tiap tiga tahun sekali oleh OECD tahun 2015, Indonesia menempati peringkat 69 dari 76 negara, dengan skor membaca di bawah rata-rata 396 dengan kecenderungan meningkat 2,3 poin per tahun.
Rendahnya kegemaran membaca disebabkan oleh beragamnya aspek, antara lain fakta, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat berbudaya tutur. Bentuk petukaran informasi masih secara lisan. Semua informasi, gagasan dan pengetahuan hanya disimpan dalam ingatan. Seperti kebiasaan masyarakat di kedai kopi, stasiun, bandara dan area publik lainnya. ”Kita lebih sering melihat orang ngobrol daripada membaca,” kata Deni.
Pada era digital seperti saat ini, perpustakaan nasional hadir dalam layanan perpustakaan digital melalui fitur iPusnas yang diakses melalui multi operating system dan multi device melalui smartphone. Aplikasi perpustakaan digital ini menggabungkan fitur membaca buku digital dan berinteraksi melalui media sosial. Di mana saat ini koleksi iPusnas sebanyak 12.526 judul dengan 125.260 eksemplar.
Selain iPusnas, Perpustakaan Nasional juga menyediakan akses jurnal sebanyak 754.528 e-jurnal; 1,6 juta artikel ilmiah; dan e-book sebanyak 21.504 ekasmplar. Juga ada one search sebuah layanan yang memungkinkan akses kepada 529 perpustakaan di Indonesia.
Budayakanlah membaca sejak dini hingga akhir nanti.
Sumber:
Comments
Post a Comment