Review Hikayat Putri yang Hilang "Silampari"
Salah satu cerita rakyat
yang beredar di Kota Lubuklinggau adalah cerita silampari. Kali ini aku melahab
habis sebuah buku hanya dalam waktu beberapa hari saja karena ceritanya yang
begitu menarik. Ketika aku membaca buku ini seakan-akan aku sedang membayangkan
cerita Thor dari negeri seberang yang menceritakan tentang dewa. Sama halnya
dengan buku ini: Silampari Hikayat Putri yang Hilang.
Buku hikayat ini ditulis
oleh Bapak Suwandi Syam yang merupakan salah seorang dosen di Fakultas
Pendidikan Bahasa Indonesia, STKIP PGRI Lubuklinggau. Buku yang berjumlah 128
halaman ini diterbitkan oleh Benny Institute, pada Desember 2015. Hikayat ini
menceritakan asal mula nama Silampari.
Kisah yang bermula dari
sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang dewa sakti yang bernama Raja Biku. Sebagai
seorang penguasa kerajaan di Negeri Ulak Lebar (sekarang merupakan nama daerah di
kaki Bukit Sulap, Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan), tentu memiliki
keistimewaan yang layak disegani siapa pun. Di antaranya, Raja Biku mempunyai
kesaktian yang sejatinya dimiliki oleh para dewa; kesaktian Dewa Matahari, Dewa
Bulan, Dewa Laut, Dewa Angin, Dewa Halilintar, Dewa Bumi, Dewa Gunung, dan Dewa
Api. Kesaktian yang kemudian menghantarkan gelar “Delapan Dewa” ke dadanya.
Berkat kesaktiannya itu,
kepemerintahan yang dipegang Raja Biku mampu berjalan dengan aman dan tentram.
Bukan hanya di kawasan kekuasaannya, negeri-negeri di sekitar Ulak Lebar pun
beroleh dampak dari kesaktian Raja Biku yang sudah tersohor ke mana-mana,
sehingga tak ada penjahat yang berani datang ke tempat mereka. Hal ini
menjadikan hubungan kerajaan Ulak Lebar dengan negeri-negeri sekitarnya
terjalin baik, yang meluas hingga ke Pagarruyung, Negeri Melayu, Bengkulu,
bahkan sampai ke Negeri China.
Meskipun telah beroleh
kesaktian dan kekuasaan yang mampu membuat iri siapa pun yang mendengarnya,
Raja Biku masih belum merasa tercukupi kehendaknya. Ada satu hal yang mau tak
mau selalu mengganggu pikirannya, yang membuatnya merasa belum sempurna sebagai
seorang lelaki dan raja. Bagaimana tidak, sepuluh tahun sudah berlalu sejak ia
menyunting permaisurinya, namun belum juga ia dikaruniai keturunan oleh Yang
Maha Kuasa. Sudah tak terhitung banyaknya upaya yang dilakukan oleh Raja Biku
dan istrinya, mulai dari menggunakan pengobatan tradisional hingga memanjatkan
doa-doa, tetapi niatan itu belum juga meraih hasil yang diharapkan.
Raja Biku selalu merasa
cemas akan hal itu. Apa memang begitulah suratan takdirnya, bahwa ia tidak akan
memiliki keturunan sepanjang hidupnya? Ah, alangkah malang nasibnya, rutuk Raja
Biku dalam hati. Sampai perlahan-lahan, titik terang dalam penyelesaian permasalahan
yang dialaminya pun terkuak. Adalah istrinya, Putri Ayu Selendang Kuning yang
mampu membawa sinar harapan tersebut, yang kemudian mengantarnya untuk
menghadap dewa yang bersemayam di Bukit Alas Rimba.
Dari sana, ia mendapatkan
petunjuk dari kakak iparnya Dewa Mantra Guru Sakti Tujuh. Raja Biku diberi
sekuntum kembang tanjung yang berasal dari kayangan dan sebuah perintah yang
harus ia patuhi. Dengan mematuhi apa-apa yang diamanatkan dewa, maka akan lahir
anak-anaknya yang berjumlah sama dengan kelopak kembang tersebut. Kini, Raja
Biku bersamana istrinya Putri Ayu Selendang Kuning telah memperoleh enam orang
anak berkat mukjizat dari kembang tanjung tersebut. Mereka adalah Sebudur,
Dayang Torek, Dayang Teruju, Dayang Jeruju, Dayang Ayu, dan Dayang Ireng Manis.
Singkat cerita, pada suatu
masa yang datang belasan tahun kemudian, Raja Biku dan permaisurinya tampak
dipusingkan oleh suatu permasalahan lain. Mereka sedang membicarakan kondisi
keluarga istana. Dirinya dan permaisuri sudah sama-sama tua sekarang, dan
anak-anaknya pun telah tumbuh menjadi pemuda-pemudi dewasa nan gagah dan cantik
jelita. Sudah sepatutnya putra putri mereka dinikahkan. Misalnya saja Dayang
Torek, putri pertama mereka, sudah begitu banyak lelaki yang datang dari
pelbagai negeri –mulai dari para pangeran bahkan raja-raja – dengan membawa
maksud untuk meminangnya. Namun belum ada seorang pun yang berhasil memikat
hatinya.
Raja Biku tahu apa yang
sesungguhnya dirasakan oleh para putrinya. Bukanlah alasan tersebut yang
menjadi penyebab utama penolakan mereka terhadap pinangan dari para calon yang
datang, melainkan berkaitan dengan sang Kakak, Sebudur. Masalahnya, putra
mahkota Kerajaan Ulak Lebar itu belum juga beristri. Sudah berkali-kali ibunya
meminta agar Sebudur segera memilih gadis yang ia sukai untuk dijadikan istri,
namun nasihat itu selalu ditolaknya.
Bagi Raja Biku, sekarang
adalah saat yang tepat untuk merundingkan masalah itu dengan istri dan
anak-anaknya. Ia membayangkan pertemuan resmi yang juga akan dihadiri oleh para
menteri dan pembesar kerajaan.
Pada hari yang telah
ditentukan, di ruang musyawarah keluarga istana Negeri Ulak Lebar, setiap
keluarga kerajaan dan perangkat pemerintahan berkumpul. Mula-mula, raja
menyampaikan tentang keadaan dirinya saat ini yang sudah tua dan dewasa.
Setelah itu, Raja Biku menanyakan sikap Sebudur tentang rencana raja yang akan
menyerahkan tahta kerajaan kepadanya sekaligus meminta agar putranya itu
bersegera memilih istri. Tetapi, nyatanya pendirian Sebudur masihlah sekokoh
sebelumnya. Ia belum berminat untuk menggantikan ayahnya menjadi raja di Ulak
Lebar dan belum pula ada kemauan untuk beristri. Tentang adik-adiknya, ia
mengizinkan mereka bersuami bila sudah ada lelaki yang berniat meminang mereka.
Ia tidak berkeberatan “dilangkahi” oleh adik-adiknya.
Setelah mendengar jawaban
Sebudur yang tegas dan disampaikan dengan penuh hormat itu, Raja Biku tak lagi
berusaha memaksakan kehendaknya. Sebaliknya, ia mencoba memaklumi kehendak
putranya.
Raja Biku mempunyai rencana
lain.
Pada hari itu juga Raja Biku
akan berangkat ke Negeri China untuk mambeli barang-barang keperluan rumah
tangga kerajaan. Selain dirinya, tak ada seorang pun yang menegetahui apa yang
sesungguhnya diinginkan sang raja atas kepergiannya yang terkesan tiba-tiba
tersebut.
Kepergian Raja Biku tersebut
merupakan awal mula kisah hampir runtuhnya kerajaan Ulak Lebar. Ternyata
kepergian Raja Biku ke Negeri China adalah sebuah tulisan takdir, Raja Biku
Hilang di Laut China. Ia berasal dari sana dan sesuai janjinya kepada Dewa
Mantra Guru Sakti Tujuh, suatu saat di masa depan ia akan kembali ke tempat
asalnya. Seorang raja yang sakti mandraguna bergelar “Delapan Dewa” itu telah
memenuhi janjinya: hilang di Laut China. Setelah kejadian kembalinya Raja Biku
ke asalnya, kisah hilangnya keluarga kerajaan ini pun ikut berlanjut diikuti
oleh: Dayang Torek yang hilang di Bukit Rimbo Tenang, Dayang Jeruju di Bungin
Lebar Danau Rejang, Dayang Ayu di Bukit Dayang Ayu, hingga Putri Ayu Selendang
Kuning, Dayang Ireng Manis, dan diikuti Sebudur juga hilang di Ulak Lebar. Tak ada perbedaan di mana mereka hilang, karena pada hakikatnya, mereka semua
kembali ke asalnya di kayangan.
Kembali pada Silampari, kata
“silampari” terdiri dari dua suku kata, “silam” dan “pari”. Silam merupakan bahasa daerah yang
bermakna “hilang”, sedangkan sesuatu yang lazimnya dapat menghilang atau menyilam
menurut masyarakat tradisional bisa dicontohkan dengan sebangsa jin, dewa, dan
peri. Peri sendiri merupakan sebutan untuk puteri cantik makhluk halus yang
biasa dijadikan perlambang bagi gadis yang cantik jelita. Jika disimpulkan,
maka peristiwa “silampari” bisa diartikan sebagai peristiwa hilangnya para peri
dari dunia fana menuju kayangan.
Sangat menarik! Jika difilmkan,
kisah yang luar biasa mengharukan ini tak akan kalah dengan film dari negeri
sebrang yang juga menceritakan kisah para dewa.
Berdasarkan buku hikayat ini
banyak pelajaran yang bisa didapatkan. Pelajaran yang secara tidak tersirat ini
dapat ditemukan selama proses silamnya para peri. Berikut beberapa amanat yang
aku dapatkan: semua yang ada didunia ini sudah ada takdirnya, harus bisa
berlapang dada, sabar, tak boleh keras hati, dan harus selalu merunduk.
Jaya terus Silampari kota
kelahiranku.
Baca juga:
Comments
Post a Comment