Kembali ku bangun dan berteriak, “Eind maafkan aku sobat.” Tapi teriakanku itu tak kunjung ada jawaban dari dalam rumah. Perih rasanya hari ini, pagi mendung itu telah menjadi petaka bagiku, semua perbuatanku pagi itu seakan lontaran paradok yang tiada guna dan arti, seragam sekolah yang terlanjur coklat tak berwarna aslinya serta seakan retak seribu tanpa bentuk membuatku tak menggerakkan arah untuk kesekolah. Suasana pagi itu mulai memancarkan kilatan terang dan suara petir yang membisingkan telinga, dan rintik air yang menyerbu menggerogoti tubuhku hingga kuyub, layaknya hatiku saat itu mencerminkan langit yang kelam, ditutupi awan gelap menghalangi mentari pagi tanpa celah sedikitpun. Hati dan batinku seakan retak seribu tanpa wujud berubah menjadi kalbu yang tak teringinkan. Pikirku melayang, berdiri pun rasanya tak sanggup, berjalan pun sempoyongan tak berarah meniti langkah tanpa tujuan, hinggaku terduduk kaku meratapi kenyataan pagi yang memilukan, ditengah hamparan rump...