Melukis untuk Masa Depan
21. Seakan
malaikat dan setan bekerja scra bergantian n terkadang bersamaan
Malam itu sunyi, hawa hangat di setiap
sudut kamar berasa teramat sangat. Ruangan yang berukuran empat kali lima meter
itu hanya punya dua akses untuk udara keluar masuk, pintu dan jendela. Saat itu
cuaca seperti biasanya, dan lebih untungnya langit ini tak meneteskan air.
Lebih baik peluh ini keluar karena cuaca panas dari pada air dari langit itu
jatuh ke bumi ini. Hampir di setiap sudut ruang itu bocor, ditambah dua titik
bocor di tengah – tengah ruangan. Jika air itu turun, entah di bagian mana lagi
mereka harus tidur. Walau begitu spertinya mereka mencoba tetap bersyukur,
karena itu adalah salah satu rejeki bagi makhluk-Nya di muka bumi ini, rejeki
bagi para tumbuhan dan hewan dan juga manusia, tapi yang bukan mengalami hidup
seperti mereka. Terkadang mereka merasa biarlah ruangan ini hangat karena tak
ada kipas angina, dan sepertinya mereka merasa lebih nyaman dalam ruangan
dengan bertelanjang dada dari pada mereka harus mecoba memaksakan tidur dengan
pakaian yang terkadang basah karena air dari langit. Entah mengapa, sepertinya
harga kipas angin bagi mereka masih terlalu mahal, dari dulu hingga sekarang. Atau mereka memang dalam masa
penghematan biaya listrik. Ah, entahlah!
Ruangan empat kali lima meter tersebut
merupakan satu – satu nya ruangan yang sudah paling layak dihuni dibandingkan
dengan ruangan yang lainnya di dalam gedung tua yang sudah banyak reruntuhan.
Bagi mereka itu merupakan tempat yang sudah paling aman di muka bumi ini. Air
di dapat dari sumur tua yang terkadang berbau dan tak jarang warnanya sudah
keruh. Listrik yang mereka dapatkan dari tetangga sebelah gedung, itupun mereka
bayar secara sukarela dengan pemilik gedung sebelah. Jika tidak karena tuntutan
zaman modern, sepertinya listrik tak akan ada dalam ruang ini.
“Ah biarlah semua itu terjadi!
Sepertinya mereka menikmati hidup ini.”
Merasakan hidup yang demikian, bukanlah
mau mereka. Terlahir dengan keadaan demikian juga bukan mau mereka, apalagi
bagi anak yang mereka lahirkan, terlahir dalam keadaan ekonomi yang minim. Ada
untungnya mereka hanya mendapatkan anak satu orang saja. Jadi ruangan kecil
itupun sudah cukup bagi mereka bertiga untuk hidup dan berbagi kasih sayang di
dalamnya.
Kali itu semua seakan tidak mendukung,
cuaca langit yang juga semakin memperkeruh suasana. Gemuruh petir dan hembus
angin terlalu mengacaukan pikiran Amir, kepala keluarga dari ruangan kecil itu.
Penat mungkin dirasa. Murka pun tak elak keluar juga dari mulutnya. Tak bisa
terbayangkan, suasana ruangan dikala itu. Suasana dingin di luar tak
mempengaruhi ruangan itu, entah mengapa di ruangan itu terasa sangat gerah.
Seakan setan sudah menyesaki di setiap jengkal ruangan, setan – setan menari
tarian kemenangan mencoba mengahancurkan pikiran semua seisi ruangan. Kala itu
mungkin Amir sedang sangat lelah entah tanpa sebab apapun dia mengomel tak
karuan maksud.
Bocor, bocor, bocor, bocor, bocor! Air
dari langit kembali menembus atap ruangan itu, tanpa disadari lemari pakaian
yang terbuat dari kain pada ruangan itu luput dipindahkan sebelum mereka
tergelatak tidur. Tak elak, semua baju basah, tanpa ada sisa baju yang kering,
hanya baju yang dikenakan mereka saat tidurlah yang tidak basah, itupun baju yang
sudah mereka kenakan seharian. Baju yang seharian mereka gunakan untuk bekerja
dan tidur juga.
Esok pagi, Aldi anak semata wayang
mereka yang masih kelas dua SD harus masuk sekolah. Tapi, seragam yang akan
Aldi gunakan hari itu juga ikut basah. Aldi tetap bersikukuh untuk tetap
sekolah. Apalah daya larangan yang dikeluarkan Amir dan Ana, kedua orang tua
Aldi, terkalahkan dengan semangat Aldi untuk tetap menuntut ilmu. Sesaat
matahari mulai menampakkan setengah bulatnya, Aldi telah siap berangkat ke
sekolah lengkap dengan seragam basah yang iya gunakan termasuk juga sepatu yang
sedang dia gunakan saat itu. Lima belas menit Aldi berjalan dari tempat
tinggalnya menuju sekolah, saat Aldi tiba di depan sekolah tempat dia belajar
dan menimba ilmu, Aldi sangat kaget. Sekolah sederhana yang hanya ada dua
ruangan dalam satu atap. Sekolah sederhana yang didirikan oleh lembaga
sukarelawan. Sekolah sederhana yang tak dipungut biaya itu, bangunannya hancur
setengah karena terkena longsor. Sudah tak memungkinkan lagi untuk melaksanakan
kegiatan belajar mengajar. Aldi terdiam sejenak, pakaian yang dia kenakan yang
tadinya basah sekarang sudah tak lagi basah, mulai berangsur kering. Gurunya
datang menghampiri Aldi, sambil merangkul tubuh kecil Aldi.
“Sekolah diliburkan, jadi untuk
sementara waktu Aldi bisa belajar di rumah dulu. Mungkin Aldi bisa datang ke
sekolah dua minggu lagi ya.”
Dengan wajah cemberut, semangat Aldi
untuk belajar hari itu luntur seketika. Dia berjalan pulang kembali ke tempat
tinggal nya. Entah apa yang dia pikirkan, dia tak kembali ke dalam ruangan
tempat dia tinggal. Dia mencari sudut lain dari gedung itu, mencari tempat
selain ruangan tempat tinggal di dalam gedung itu. Dia mencari tempat berteduh
untuk menghangatkan badannya. Dia duduk dipingiran reruntuhan. Senyumnya
kembali merekah, semangat untuk terus belajar ternyata tak surut dan tak jadi
luntur. Belajar dari apa yang telah dia lihat, belajar untuk terus mengasah apa
yang dia bisa dan dia sukai. Hari itu, kembali Aldi menggoyangkan kuas tua yang
selalu dia pakai untuk melukis. Melukis adalah salah satu hobinya. Kali ini dia
melukis dari apa yang dia lihat, melukiskan apa yang telah Tuhan berikan
untuknya. Gedung tua yang penuh dengan reruntuhan. Melukiskan bahwa dimanapun
dia berada, sekalipun di tempat seperti yang dia duduki sekarang ini, malaikat
akan tetap ada di sampingnya. Melukiskan bahwa rasa syukur adalah hal yang
paling indah di muka bumi ini.
Comments
Post a Comment