Kala Kecilku
22. trkadang aku malu dgn masa kecil ku... semakin tua umurku semakin aku menjauh dari
Nya... dan smkin bobrok akhlak ku... hati yang tlh ternodai, tak suci
lagi...tlh bnyk tnta yg menodai lembaran2 putih yg mlai tiada berarti lagi...
trkdngg aku sdr n mulai membenahi dan trkdng aku lupa dan luput dari smwwa yg
aku sdri itu... n smwa ini yg aku jalani... aku hnya terlena dengn fatamurgana
dunia.
“Allahuakbar
– Allahuakbar…”
Lantun
suara adzan dulu selalu ku kumandangkan. Setiap tiba saat shalat datang saya siap
berdendang lantunan adzan. Tak ada terpikir apakah orang nanti suka dengan
suara adzan yang dilantunkan. Yang jelas, saya hanya mencoba mengumandangkan
adzan tepat dengan waktu yang telah ditentukan. Ketika itu, umurku tak lebih
dari 9 tahun. Percaya diri dan selalu berambisi begitu kata mereka, 15 tahun
yang lalu.
Aku tak
tau akan jadi apa aku nantinya, aku hanya mencoba untuk membahagiakan orangtua
ku, membuat mereka bangga dengan apa yang aku lakukan. Tapi apalah daya seorang
anak kecil yang dituntut untuk berpikir dewasa dan mencoba apa mengerti
pikirannya orang dewasa. Hampir semua yang saya lakukan tidak ada apa – apa di
mata mereka. Semua prestasi seakan hanyalah bualan belaka. Semua kemenangan
seakan hanyalah angina belaka. Tak ada ucapan selamat, tak ada penghargaan, tak
ada sedikitnya pun pertanyaan “how could
it be?”. Hati seorang anak mana yang masih bisa berpikir jernih jika dia
diperlakukan demikian. Berkorban dan bertekad semua hanya untuk mereka, dia
hanya mengaharap keluar salah satu kemungkinan itu, kata “Selamat!”. Jangankan
mengharapkan penghargaan dalam bentuk apapun, kata tersebut seakan cerita
dongeng, kata tersebut seakan mencari ujung jalan dari bumi ini, bahkan kata
tersebut seakan melukis di atas air lautan luas. Seakan anak itu tidak ada.
Seakan anak itu hanya lah angin belaka. Seharusnya lama kelamaan anak itu akan
berhenti berfikir demikian. Hal tersebut tidak berlaku baginya, 9 tahun yang
lalupun dia masih mencoba untuk tetap berfikir positif. Berfikir untuk
memaklumi semua yang dilakukan orang tuanya kepadanya. Mungkin mereka sedang
sibuk dengan pekerjaan mereka. Mungkin pekerjaan mereka sedang menumpuk.
Mungkin disetiap momen penting bagiku, mereka sedang dalam masalah dan dalam
keadaan yang sangat sangat sibuk. Sepertinya dia mencoba untuk mengerti.
Disetiap
langkah yang dia tempuh dan disetiap tekad yang dia yakini, semua masih
berlandaskan hanya untuk membahagiakan orangtuanya. Walaupun terkadang orang
tua tak begitu yakin bahwa dia bisa mendapatkan prestasi yang telah dia dapat.
Bahkan tak jarang juga orang tuanya malah tak mendukung apa yang ia perbuat
yang sebenarnya hanya untuk mendukung prestasi yang telah dia dapat. Entah
apapun itu perlakuannya, dia tetap yakin suatu saat bisa membahagiakan orang
tuanya dan melalui prestasinya.
Perihal
agama, masih selalu ia kerjakan, walaupun terkadang dia goyah karena lingkungan
bermainya, teman bermainnya. Entahlah apakah ini juga masih bisa dimaklumi
untuk anak seusia dia. Biarlah urusan ini Allah yang atur. Allah tau semuanya,
tau segala kemungkinan yang akan terjadi pada umatnya.
Hingga
suatu ketika, sekitar 7 tahun yang lalu. ketika dia mulai mengubah semua tujuan
dari yang telah ia lakukan sebelumnya. Kini dia tidak lagi memikirkan tujuan
untuk membahagiakan orang tua. Dia mulai egois. Semua hanya untuk kepentingan
dirinya sendiri. Toh sekalipun dia berprestasi, dia merasa tak ada dampak
sedikitpun pada orang tua nya. Biar sekalian semua tak perlu lagi mereka tahu.
Dan memang apapun yang dia lakukan tak ada sedikitpun pertanyaan “how is your life?”. Kali itu dia juga
merasa sudah cukup untuk berfikir positif. Seakan semua tidak ada guna, hanya
angin lewat.
Dan
sekarang, pikiran negative itu sudah menggerogoti hati dan pikirannya. Dia
mulai egois, dia mulai tak sensitive, dia mulai acuh dengan apapun, hingga
terkadang dia juga acuh dengan Tuhan nya. Entah sebenarnya siapa yang patut
disalahkan. Sepertinya sekarang tak perlu lagi mencari kambing hitam. Tak ada
yang salah, dan tak ada juga yang patut dibenarkan.
Entah
apakah anak lelaki yang beranjak dewasa ini adalah korban? Apakah memang itu
sudah takdir Tuhan? Yang jelas sekarang, terkadang dia malah meratapi akan
sikap dia yang jauh lebih buruk dari sewaktu kecil dulu. Dia merasa termasuk
orang yang merugi dalam agamanya.
Pikiran
negative itu telah benar – benar meracuni dia. Dia terkadang malah lebih sering
diam, melamun, termenung, diam dalam kegelepan.
Tidak
seharusnya dia melakukan hal demikian. Memang hidup ini bagaikan roda yang
berputar, terkadang di bawah, terkadang di atas. Sudah cukup untuk ratapan itu,
sudah cukup untuk lamunan itu. Dia pernah menjadi anak yang baik, kenapa tidak
jika dia ingin kembali baik. Seharusnya dia tahu apa resepnya. Dia tahu apa
yang terbaik baginya. Menjadi baik bukanlah suatu pilihan, tapi menjadi baik
adalah suatu tuntutan. Berbuatlah secara ikhlas, bekerjalah secara ikhlas,
dengan begitu tak perlu lagi memikirkan respon dan tanggapan dari semua orang,
itu hanyalah bonus di akhir saja.
Dan kini,
dia mulai mencoba melangkah. Melangkah dan terus berdoa agar semua yang dia
lakukan berkah. Berkah dunia akhirat. Hinggal ajal menjerat.
Comments
Post a Comment