Kereta Muara Enim 2
Aku teriakkan kereta api itu untuk berhenti dan
bersedia aku naik diatas sana. Tapi upayaku sia-sia saja, hanya menghabiskan
energi dan suara yang percuma untuk dilakukan. Datang pria yang membangunkan
aku dari lamunan tadi. Karena kesal, pria itu kembali menjadi sasaran amarahku
dengan naluri seorang cewek yang judes.
“Lemot banget sih bangunin orang! Lihat nih
ketinggalan kereta jadinya” dengan tetesan air mata dan suara cempreng aku
celotehi pria itu.
“Kenalin aku Angga. Siapa namanya?” suara lembutnya
membangunkan aku dari tangis.
“Eh… kamu! ngapain kamu disini? Pergi sono susulin
keretanya!”
“Sudah jauh tuh, percuma aja. Siapa namanya?”
diulurkan tangannya agar aku bangkit dari posisi jongkok itu. Tak segan aku
sambut dan kembali duduk dikursi penumpang pada ruang tunggu di stasiun itu.
“Owh, siapa loe? Maksih, untuk semuanya! Mila.” jawab
ku sinis, dan langsung keluar ke tempat pembelian tiket,
Meninggalkan pria itu didalam stasiun. Langsung saja
aku pesan tiket malam menuju kota Palembang. Merogoh kantongku, mengambil uang
untuk membayar tiket yang sudah dipesan tadi. Tapi, tak satupun barang yang ada
dikantongku. Semua ada didalam tas jinjingku didalam kereta. Sebagai seorang
cewek sejati pastinya hanya isak tangis yang dapat aku lakukan.
Pria itu kembali menghampiriku dan menyodorkan
seonggok koper dan tas jinjing kuning. Dan yang pastinya semua itu punyaku.
Langsung aku sambar semua barang
milikku. Dan membayar tiketnya. Aku buka tas jinjingku dan ku ambil uang
Rp.50.000,00. Tapi tak sengaja kulihat sudah ada tiket didalam tas itu. Aku
periksa tiket itu, tujuanya ke kota Palembang. 5 Januari 2010, tanggal
pembeliannya pun tepat pada hari ini. Ahirnya aku batalkan pembelian itu.
Dengan rasa aneh didalam hati dan penasaran terhadap tingkah laku pria itu. Tak
segan aku hampiri pria itu, yang sudah kembali kedalam stasiun kereta api.
Duduk sendirian dengan senderan santainya dikursi tunggu itu.
“Terima kasih untuk tas dan tiketnya! Maaf atas
kejadian tadi! Aku sungguh kesal!” aku coba buka percakapan kami dengan kata
terima kasih dan maaf. Mulanya dia diam dan bungkam seeribu kata seakan merasakan
gejolak jiwa yang diisap kesunyian mendalam membuatku ikut kaku dibuatnya. Aku coba ulangi lagi dan aku ulurkan tangan kananku
kehadapannya sebagai tanda maaf dan salam kenal. Dijabatnya tangan kananku.
Sore hari dikursi hijau yang keras, stasiun Muara Enim. Disitulah awal
keakraban kami, hingga akhirnya kami saling kenal satu sama lain. Menjelaskan
halyang barusan terjadi.
Faktanya, Angga mempunyai kembaran bernama Rangga.
Pria berkaos hitam yang aku omeli tanpa sebab dan akibat. Hpku sudah dibenarkan
olehnya. Tasku yang ada didalam kereta, Rangga memberikannya kepada Angga.
Tiket yang dibelikannya untukku. Dan Angga disini karena dia mencoba
mengungkapkan perasaannya kepadaku. Entah alasann apa dan mengapa, semudah dan
secepat itu ia mengungkapkan perasaanya kepadaku. Dan tak secepat dan semudah
itu aku menjawab isi hatinya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00 wib, sudah
sangat larut malam dan matapun tak dipungkiri sudah ingin menutup. Tapi berkat
dia tak terasa malam yang begitu pekat hamper saja berlalu. Karena dia
dinginnya malam yang menusuk tulang tak terasa sama sekali. Hingga alunan suara
yang lain seaakn tak mempan mengganggu fantasi keajaiban yang menggerogoti
kedua hati kami.
“toot….!”
Terdengar suara kereta api yang akan berhenti di
stasiun itu. Kamipun tersentak langsung menuju ke pinggiran rel kereta api.
Dengan santai kami mencari tempat duduk di gerbong pertama tepat dibelakang
kepala kereta api. Mendapatan tempat duduk yang berdekatan membuatku terasa
sangat nyaman. Entah mengapa sepertinya hati ini telah sempat ia goreskan.
Merebahkan diri dikursi yang telah kami pesan. Tak lama berselang, pengumuman
dikumandangkan bahwa kereta sebentar lagi akan berangkat.
Tersentak aku mengingat tas jinjingku. “Tasku Ngga,
tasku ketinggalan dikursi tunggu stasiun! Aduh gimana nih!”. Tanpa berpikir
panjang Angga langsung mengambil tas jinjingku distasiun. Berlari keluar
gerbong dengan cepat. Tapi dewa fortune sedang tak berpihak kepada kami.
Kereta api mulai berjalan saat Angga memasuki stasiun. Lonjak aku dari tempat
duduk itu menuju ambang pintu gerbang. Memanggilnya dengan teriakan sekuat
mungkin.
“Mil…! Jawabannya?” teriaknya saat kulihat ia
tergopoh-gopoh berlari mencoba menyusul.
“Aku Sayang Kamu. Temui aku di Palembang!”
Entah sepatah kalimat yang mungkin berarti baginya.
Dan aku tak tahu bagaimana kami bisa bertemu dikota itu. Fatalnya, kami lupa
bertukar nomor hp. Dan didalam tas jinjingku hanya ada uang sakuku.
Yah…! Begitu singkat pertemuan kami. Dan semoga kami
bisa bertemu di kota Palembang, dengan indahnya temaram bulan sabit yang akan
kembali menghiasi malam-malam kami untuk sejuta kejutan dihari esok.
THE END
Comments
Post a Comment