Biarkanlah Ikhlas Memaknai Dirinya Sendiri
Mengapa harus ada
pertemuan? Pertemuan adalah kuasa Tuhan. Ia mempunyai rencana, lebih tahu
apapun daripada yang manusia tahu: maha mengetahui. Pertemuan adalah rahasia
alam, dalam hingga ke dasar bumi dan tinggi setinggi
tiang langit. Sungguh, tak aku inginkan pertemuan semacam ini. Kau memberikan
harapan, lantas kau torehkan luka hati. Aku tak pernah menganggap aku bodoh
karena aku mengenalmu. Aku hanya kurang beruntung karena lebih lambat
mengenalmu. Andai saja, kau lebih dulu mengenalku, aku yakin bahkan sangat
yakin kau akan setia padaku. Tak perlu lagi ada dusta di antara aku, kau dan
dia.
Mengenalmu bukanlah suatu kutukan, tapi ini akan menjadi musibah antara aku, kau dan dia. Wahai kau pujangga cinta, inilah kalimat yang telah hidup dan nyata, ‘Ketika cinta memanggilmu maka dekatilah dia walau jalannya terjal berliku, jika cinta memelukmu maka dakaplah ia walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu.’ Kalimat dari sang pujangga sejati: Khalil Gibran. Sepenting itukah cintamu.
Lagi, sungguh aku tak menyalahkan pertemuan dusta itu. Aku telah belajar banyak dari kau. Aku tahu, kau tak mengajarkan hal demikian: perihal selingkuh yang kau lakukan sekarang. Tapi, dari kaulah aku belajar, belajar untuk tidak menyakiti orang yang menyayangi. Aku juga demikian, aku tak akan menyakitimu, karena aku tahu cinta itu tulus dari hatimu. Terlihat dari mata jujurmu. Lantas, kau harus aku anggap sebagai apa? Siapa kau sebenarnya? Akan aku jadikan apa kau dalam hidupku? Teman? Ya, teman hidup!
Perihal berbagi, kali
ini aku benar-benar telah belajar belajar berbagi cinta, kasih dan kekasih.
Terkadang berbagi itu tak sesederhana katanya. Harus memberikan apa yang kita
punyai, entah itu sebagian atau sepenuhnya, dan aku tak tahu apa yang telah kau
lakukan ihwal berbagi ini. Tetaplah, berbagi dimaknai untuk menginspirasi,
cerita kisah berbagi ini pun mungkin akan menginspirasi.
Sepenting
itukah egomu? Hingga kau harus memilih kedua-duanya
dari dua pilihan. Apakah itu termasuk dalam artian, kau telah memilih? Yah, itu
termasuk dalam hal tersebut. Kau telah memilih aku dan dia. Itu adalah pilihan.
Pilihan dan keputusan untuk berbagi. Mungkin kau tahu betapa sakit hatiku ini
pun hati dia yang kau duakan. Sungguh, Aku tak membayangkan bagaimana ini
terjadi dalam kehidupan nyata rumah tangga, mungkin sungguh sakit. Aku yakini
itu memang sungguh sakit. Poligami memang seharusnya dilarang. Larangan untuk
menduakan apalagi mentigakan atau lebih dari itu, karena hati dan jantung
manusia cuma satu.
Begitu
rumitnya dunia, hanya karena sebuah cinta. Lantas apa yang
harus aku lakukan dalam situasi pilihanmu itu, situasi atas keputusanmu itu.
Hati ini sungguh berantakan kaubuat. Mungkin aku harus belajar ikhlas, ikhlas dalam konteks sebenarnya.
Ikhlas untuk membiarkan kau membagi kasih ini atau ikhlas untuk meninggalkan
kau hanya untuknya. Ah, aku gundah. Gundah gulana.
Kita berawal karena cinta, biarlah
cinta yang mengakhiri. Lagi, sungguh kehadiranmu membuat
hidupku lebih berarti, lebih berwarna, lebih bermakna, dan lambat laun aku
beranjak meninggalkan kebiasaan kotorku-zona setan-menuju secercah harapan
untuk masa depan cerah. Kini aku telah benar-benar ikhlas. Ikhlas dengan apapun
itu, semua tak akan aku permasalahkan lagi. Biarkanlah ikhlas memaknai dirinya
sendiri. Siapa tahu nanti, ikhlas mendapatkan
ilham untuk memaknai dirinya sebagai inspirasi. Ikhlas berbagi inspirasi. Cerita gundah ini sungguh aku selesaikan
dengan kegundahan hati dimalam pekat ini.
“Jika
harus begitu, kenapa tidak!”
“Maksudnya?”
“Ya
begitulah!”
“Aku
tidak mengerti, coba jelaskan!”
“Jadi
begini, begitulah ceritanya.”
“Ok,
baiklah!”
Pada sepertiga malam,
di bawah sendu sinar bulan purnama yang tak begitu tampak bulat, tertutup awan
gelap, diiringi suara angin malam yang membelai lembut, dingin menusuk kalbu.
Sepasang manusia terlihat berdialog datar, di pinggir pantai, menatap jauh ke
depan, tak berpandangan, mungkin bukan sepasang kekasih. Kini, aku duduk
sendiri, di bawah pohon sepi, mencoba mengerti dialog yang sedang mereka maini.
Terkadang, ketidakjelasan bisa menjadi lebih berarti jika dimaknai dengan hati.
Kembali, mereka telah menginspirasi. Semua ini telah termaktub. Ya, aku, kau
dan dia. Bukan mereka.
*Terinspirasi
dari lagu Sebuah Rasa oleh Agnes
Monica.
Comments
Post a Comment