Pemimpin dan Orang Kaya Itu Bebas Melakukan Apa Saja! Kamu Setuju?

Orang kaya sih bebas mau ngapain aja; bebas mau ngomong apa; bebas mau gunain apa aja; bebas mau kemana aja!
Pemimpin pun bebas mau ngapain aja; bebas mau suruh apa aja; bebas mau kasih perintah ke siapa aja; bebas mau buat peraturan apa aja!
Ya mereka adalah penguasa!

Sama halnya dengan sekelumit kisah di bawah ini. Namun, kisah ini akan mengajarkan kita banyak hal. Mengajarkan kita bagaimana bertindak. Mengajarkan kita bagaimana menjalani hidup di dunia ini dengan benar. Simak kisah ini dan petik hikmahnya!



Setelah berabad-abad mengalami kekacauan dan pemerintahan yang buruk, rakyat sebuah kota yang letaknya jauh di atas salah satu gunung provinsi  Herat, mulai putus asa. Mereka tidak bisa menyingkirkan monarki yang ada, tapi juga tidak tahan lagi menghadapi generasi kepemimpinan yang arogan dan egois. Mereka pun memanggil Loya Jirga, atau dewan lokal yang terdiri atas orang-orang bijak.

Loya Jirga memutuskan untuk mengangkat seorang raja setiap empat tahun, dan raja ini harus memiliki kekuasaan penuh. Raja boleh menaikkan pajak, memerintahkan agar rakyat patuh sepenuhnya, tidur dengan wanita yang berbeda setiap malam, dan makan-minum sampai puas. Raja boleh memakain pakaian terbaik dan mengendarai kuda terbagus. Singkatnya, apa pun titah raja, betapapun absurdnya, akan dipenuhi, dan tak seorang pun akan bertanya apakah titah itu logis atau adil.


Namun, setalah masa empat tahun pemerintahan, raja harus turun tahta dan meninggalkan kota itu dengan hanya membawa keluarga serta pakaian di badan. Semua orang tahu itu akan berujung dengan kematian setelah tiga atau empat hari karena tidak ada bahan makanan atau minuman di gurun luas yang luar biasa dingin pada musim dingin dan seperti neraka pada musim panas.

Orang-orang bijak Loya Jirga berasumsi tak seorang pun mau mengambil resiko untuk jadi raja sehingga mereka bisa kembali ke sistem lama, yaitu pemilihan raja secara demokratis. Mereka mengumumkan keputusan tersebut dan tampuk kepemimpinan pun kosong. Awalnya, beberapa orang mengajukan diri. Pria tua berpenyakit kanker menerima tantangan tersebut dan meninggal dengan bahagia saat memerintah. Ia digantikan seorang pria gila yang meninggalkan tahta setelah empat bulan kemudia (karena salah mengerti tentang syarat-syaratnya). Pria itu pun hilang di gurun. Lalu mulai berkembang desas desus bahwa tahta itu terkutuk sehingga para penduduknya sadar mereka perlu melupakan tradisi monarki dan bersiap-siap untuk mengubah cara mereka. Loya Jirga senang karena para penduduk membuat keputusan bijaksana. Mereka tidak memaksa penduduk, mereka hanya menyingkirkan orang-orang yang menginginkan kekuasaan apa pun konsekuensinya. Kemudian seorang pemuda, yang sudah menikah dengan tiga anak, mengajukan diri.

“Aku menerima tawaran itu,” kata si pemuda.

Para orang bijak berusaha menjelaskan risikonya. Mereka mengingatkan bahwa ia punya keluarga serta menjelaskan bahwa keputusan mereka hanyalah cara supaya tidak ada pemimpin yang kejam dan asal-asalan. Namun si pemuda tetap bertekad kuat, dan karena mereka tidak mungkin membatalkan keputusan sendiri, Loya Jirga tidak punya pilihan selain menunggu empat tahun sampai rencana pemilu bisa dijalankan.

Pemuda itu serta keluarganya ternyata pemimpin yang baik. Mereka memerintah dengan adil, membagikan kekayaan dengan rata, menurunkan harga bahan pangan, menyelenggarakan berbagai pesta rakyat untuk merayakan perubahan musim, serta mendorong rakyat untuk bermusik dan membuat kerajinan. Namun setiap malam, karavan besar yang ditarik banyak kuda meninggalkan kota tersebut, di belakangnya berderet gerobak-gerobak berat bertutup terpal sehingga tidak ada yang tahu apa isinya. Gerobak-gerobak ini tidak pernah kembali.

Awalnya, para orang bijak dari Loya Jirga mengira sang raja pasti memindahkan harta karun dari kota, namun mereka kembali tenang karena pemuda itu hampir tidak pernah keluar dari tembok kota; kalaupun ia mencoba memanjat gunung terdekat, ia pasti sadar kuda-kudanya akan mati sebelum sampai tujuan. Lagi pula, kota itu terletak di tempat yang paling terpencil di planet ini. Mereka yakin begitu pemerintahan raja berakhir, mereka bisa mendatangi tempat kuda-kudanya mati kelelahan dan si penunggang mati kehausan, dan akan menemukan semua harta karun itu.

Mereka tidak khawatir lagi dan menunggu dengan sabar. Pada akhir masa empat tahun, si pemuda turun tahta dan meninggalkan kota. Masyarakat memprotes; lagi pula, sudah cukup lama mereka diperintah oleh raja yang bijaksana dan adil! Namun keputusan Loya Jirga harus dihormati. Pemuda itu menghampiri istri dan anaknya, lalu meminta mereka ikut bersamanya.

“Aku akan ikut,” kata istrinya, “tapi setidaknya biarkan anak-anak kita tinggal. Supaya mereka tetap hidup untuk menceritakan kisah hidupmu.”

“Percayalah padaku,” kata suaminya.

Hukum suku sangat ketat dan sang istri tidak punya pilihan selain mematuhi suaminya. Mereka mengendarai kuda ke gerbang kota dan mengucapkan selamat tinggal pada semua teman yang mereka kenal selama empat tahun pemerintahan. Loya Jirga senang. Mungkin mereka punya banyak musuh, tapi takdir adalah takdir. Tak seorang pun mau mengambil risiko memerintah kota, dan tradisi demokrasi akhirnya akan kembali digunakan. Sesegera mungkin, mereka akan menggali kekayaan yang dikubur di gurun, kurang dari tiga hari perjalanan dari tempat itu.

Keluarga tersebut menuju lembah kematian tanpa suara. Sang istri tidak berani berkata apa-apa, anak-anak mereka tidak mengerti apa yang terjadi, sementara pemuda itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Mereka menaiki bukit, menempuh perjalanan satu hari penuh menyebrangi gurun luas, lalu tidur di puncak bukit yang lain.

Sang istri bangun subuh-subuh, ingin menikmati hari-hari terakhir hidupnya dengan melihat pemandangan pegunungan yang sangat ia cintai. Ia naik ke puncak paling tinggi dan menatap ke bawah, ingin melihat hamparan pasir yang membentang luas, tapi ia terkejut luar biasa.

Selama empat tahun, rombongan karavan yang meninggalkan kota setiap malam bukan membawa permata atau koin emas. Mereka membawa batu bata, biji-bijian, kayu, genteng, rempah-rempah, ternak serta alat-alat tradisional yang bisa digunakan untuk mengebor tanah untuk mencari sumber air.

Di hadapannya terbentang kota yang jauh lebih modern serta jauh lebih indah daripada kota yang lama, dan semuanya sempurna.

“Ini kerajaanmu,” kata si pemuda, yang baru bangun dan bergabung dengan istrinya. “Sejak mendengar dekrit tersebut, aku tahu tak ada gunanya mengubah pemerintahan yang korup dan rusak dalam empat tahun. Namun aku meyakini satu hal, kita bisa memulai semuanya dari awal.



Bagaimana pendapatmu setelah membaca kisah di atas? Sungguh seorang pemimpin yang cerdik dan bijak bukan! Ada beberapa hikmah yang dapat kita petik dari cerita ini:

1.       Hidup di dunia ini hanya sementara. Begitupun dengan yang kita punya harta (materi) dan kekuasaan.
2.       Jika sudah tak bisa lagi mengubah suatu hal yang buruk menjadi baik maka tak perlu dipaksakan. Tetaplah menjadi baik dan buktikan bahwa hal tersebut adalah buruk.
3.       Bersikaplah cerdas dan bijak dalam hidup.
4.       Manfaatkan apa yang kamu punya sekarang untuk hari esok. Jangan terlena dengan hari ini.
5.       Rencanakanlah hidupmu agar bisa menjadi lebih baik lagi.

Sumber cerita dari novel The Winner Stands Alone karya Paulo Coelho.
Sumber gambar dari Freepik.com

*Gambar di atas hanya ilustrasi belaka. Bukan lokasi sebenarnya.

Comments

Popular

Asiknya Mandi di Air Terjun Sando, Lubuklinggau, Sumatera Selatan

Lidah Mertua: Kumpulan Puisi yang Sangat Menggugah Hati

TERUSKAN SAJA SEMAUMU HINGGA USAI

OPPO Service Center Lubuklinggau Siap Melayani Kamu

Puisi Resah Sang Pencari Kerja