AKU (TAK) MEMILIH
Sumber: freepik.com |
‘Pagi ini sangat cerah. Terima-kasih Tuhan untuk hari yang cerah ini. Apa kabarmu Tuhan?’ pikirku melayang di pagi buta yang cerah itu. Seperti biasa, setiap pagi, Senin-Jumat, aku mulai bersiap-siap berangkat kerja. Tepatnya pukul 07.00 WIB. Perjalanan dari rumah ke kantor memang tak dekat. Aku tinggal di daerah Jakarta Timur, Duren Sawit, sedangkan kantorku berada di Jakarta Pusat. Ya, setidaknya butuh waktu nyaris satu jam, jika menggunakan transportasi umum.
Seperti biasa, aku berjalan kaki terlebih-dahulu untuk keluar komplek (sekitar 10 menit). Kemudian, aku menunggu metromini tujuan Kampung Melayu. Setelah tiba di Kampung Melayu, aku pun bergegas menuju Bus Trans-Jakarta tujuan Pasar Senen. Ah, pemandangan yang umum terjadi. Para pekerja berdesak-desakan menaiki bus ini. Aku pun termasuk salah satunya. Ini sudah menjadi sarapan pagiku, aku pun mensiasati dengan tidak menggunakan seragam kantor saat pergi. Setiap pagi, selama perjalanan dari rumah ke kantor, bajuku pasti kuyup karena peluh. Sesampai di kantor aku pun harus kembali membasuh muka dan mengganti baju yang kuyup itu dengan seragam kantor. Ah, aku sudah terlanjur terbiasa dengan rutinitas ini.
Tak disangka, pagi itu, aku bertemu dengan teman lamaku. Teman yang sudah lama aku kenal sejak kecil dan kami dipertemukan dalam bus trans tersebut. Kami pun mulai bercakap akrab. Pertanyaan klasik mulai terlontar di antara kami: ‘halo, apa kabar bro?’ ‘tinggal di mana sekarang?’ ‘kerja di mana sekarang?’ ‘siapa pacarmu sekarang?’. Ya, masih banyak pertanyaan klasik yang kami lontarkan pada awal pertemuan itu. Tapi, jelasnya aku senang bertemu lagi dengan temanku ini. Dia masih sama, masih menjadi seorang lelaki yang begitu hangat ketika bercakap.
Awal pertemuan kali itu pun tidak kami buka dengan topik yang berat. Namun, di akhir perpisahan kami berjanji bertemu lagi saat pulang kerja nanti. Ya, sepertinya kami belum puas dengan percakapan saat itu. Wajar saja ini terjadi, ketika teman karib yang sudah lama tak bertemu lantas tetiba dipertemukan kembali. Betapa membuncahnya rasa saat itu. Ingin rasanya menumpahkan cerita hidup kepadanya.
Jam pulang kantor telah tiba. Aku bergegas menuju Pasar Senen. Tak butuh waktu yang lama untuk mencari. Kami pun saling menemukan satu sama lain. Percakapan akrab kembali dimulai. Ah, aku rindu berdebat tipis dan bertukar pikiran dengannya. Ternyata, rasa rinduku mulai terjawab ketika dia mulai membuka topik yang tak klasik.
“Kau pilih yang mana, apakah siang yang setia dengan terangnya? Atau malam yang setia dengan gelapnya?” dia mulai bertanya yang seakan ingin memulai perdebatan tipis di antara kami.
“Apakah aku harus memilih?” aku malah balik bertanya.
“Menurutmu?” dia pun balik bertanya . Ah, sepertinya aroma debat mulai tercium.
“Aku tak 'kan memilih, keduanya harus aku lewati. Melalui siang dan malam, hidupku akan menjadi berwarna,” jawabku sok bijak.
“Kau mulai sok bijak sekarang ya ...” dia mengernyitkan dahinya dan ditambah dengan senyum yang sok manis. Kemudian dia kembali bertanya, “lantas bagaimana dengan yang ini ... apa yang kau pilih, hidup seakan mati atau mati seakan hidup?”
“Kau pun masih belum berubah. Pertanyaan apa ini? Apakah ini juga harus aku pilih?” aku kembali bertanya tanpa menjawab.
“Entahlah ...” sepertinya dia mulai sok angkuh, sambil mengangkat bahunya.
“Aku memutuskan untuk tidak berpihak pada kedua-duanya ... aku selalu bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan untukku. Tuhan punya rencana di baliknya!” kembali aku jawab dengan pernyataan sok bijak.
“Tak ada pilihan itu dalam konteks yang aku berikan ... kau tak tegas!” jawabnya kilat.
“Apakah memutuskan untuk tidak berpihak pada keduanya bukan termasuk pilihan?” aroma debat sudah semakin mem-bau-i di antara kami.
“Tetap saja, pilihan itu tidak ada pada konteks ...” jawabnya dengan tenang.
“Kau bertanya atau ingin menghakimi? Kau yang memberikan pilihan ... keputusan tetap berada di tanganku!” aku tantang dia untuk ber-argumen.
“Ya, aku hanya bertanya ... apakah salah jika aku bertanya? Apakah bertanya termasuk perbuatan dosa?” dia kembali menjawab dengan tenang.
“Bukan begitu, aku rasa hal yang demikian bukan untuk dipilih.”
“Lantas apa?”
“Semua harus kita hadapi, lewati, dan jalani.”
“Kau aneh ... bagaimana jika kau di-hadap-kan dengan dua arah ketika sedang berada di jalan, apakah kau memilih arah kiri atau kanan? Hanya satu jalan yang benar. Dan kau harus memilih!” sepertinya dia tetap kekeh, menginginkanku menjawab pertanyaannya.
“Betul. Itu sangat betul ... benar-benar-betul-aku-haru s-memilih. Namun bagaimana ketika aku salah memilih arah. Apakah aku harus terjebak di sana selamanya dalam kesalahan? Apakah aku tidak boleh putar arah dan merubah pilihan? Sekejam itu risiko dalam memilih?!” aku pun mencoba menjawab dengan santai agar seolah-olah aku tak termakan dengan perdebatan ini.
“Kejam?! Apa maksudmu dengan kejam? Hidup ini adalah pilihan ...” dia mulai gusar.
“Baiklah kalau begitu. Kau memilih diam atau tetap bicara?” aku tanya dia dengan pertanyaan menjebak.
“Aku memilih ...” dia mulai berbicara.
Seketika, aku potong jawabannya, “cukup, tak perlu kau teruskan .... Kau sudah menjawabnya.”
Kami pun mulai terdiam dan tersenyum kecil. Senyuman kami seakan mengakhiri perdebatan ini dan sebagai kesimpulan atas perdebatan ini. Ya, terkadang, pilihan atau jawaban itu tak harus dilontarkan ... namun ....
Comments
Post a Comment