Skenario
Aku sedang mencari jati diriku yang terbelenggu dengan
ilmu pengetahuan modern serta tuntutan zaman yang semakin menggila. Dan semua hal yang hampir
meninggalkan nilai keagamaan.
Yah, aku berteman dengan siapa saja. Menerima teman dengan kelebihan dan kekurangannya
tanpa memilih yang terbaik untuk ditemani. Aku berteman dengan seluruh penjuru
agama, tak memandang umur dan dari kalangan
manapun juga. Iman ku yang
masih sangat tipis, tapi banyak hal yang membuat aku tertarik untuk aku ketahui dan aku kerjakan.
Masih banyak lagi buku yang belum sempat aku baca. Entah buku apapun itu. Masih
banyak cerita dan film yang belum aku tonton, dan aku ambil hikmah nya. Entah
apakah ini fiksi atau nyata terjadi. Aku mendapatkan semua jawaban dimalam itu.
Setelah
pulang sekolah waktu itu, aku benar-benar letih. Mataku rasanya tak sanggup
lagi bertahan untuk terbuka, dalam hitung menit mata ini telah merapat tanpa
spasi. Malam yang berhawa dingin itu seakan benar-benar bernyawa, merinding aku
dibuatnya. Tiba-tiba aku terbangun dan tak bisa tidur lagi. Aku gusar malam
itu. Aku coba membaca buku, siapa tahu aku bisa kembali tidur. Nyatanya tidak.
Aku kembali gusar. Aku bosan pada malam itu. Tiada jalan lain, aku menyerah
untuk mencoba tidur. Aku biarkan mata ini terus bekerja. Aku hidupkan komputer,
memasang headphone di telinga, dan
mulai membuka film action. Film action kali ini, aku pilih secara acak.
Di pertengahan film, otakku mulai berimajinasi. Aku sudah tak fokus lagi dengan
jalan cerita film itu. Ternyata aku mulai mengantuk.
Aku
tersendak tiba-tiba pintu teras di kamarku ada yang mengetuk berkali-kali. Aku
bingung, bagaimana bisa ada yang bisa mengetuk? Padahal kamarku berada di
lantai tiga dan tak ada akses ke teras kamarku kecuali melewati kamarku terlebih
dahulu. Kali itu aku benar-benar sudah melupakan film yang sedang aku putar.
Suara ketukannya semakin kencang, walaupun headphone
tetap di telinga, suara ketukan itu tetap terdengar jelas. Penasaran aku
dibuatnya. Aku lepas headphone.
Mataku mulai tertuju hanya pada pintu yang masih tertutupi gorden itu. Aku
mulai beranjak, berjalan pelan menuju pintu teras. Aku geser sedikit gorden
pintu teras itu untuk melihat dari mana sumber suara itu. Aku paksa mengintip
keluar. Nihil. Tak ada sutu makhluk apapun di luar sana. Aku geser gorden yang
menutupi pintu teras kamar itu dan aku beranikan diri membuka pintu kaca itu.
Aku melangkah pelan keluar kamar menuju teras kamar. Betapa terkejut aku
dibuatnya. Seorang perempuan cantik ABG duduk di kursi depan kamarku.
Reflek,
aku mundur beberapa langkah kembali masuk kamar. Pria macam apa aku ini?
Melihat perempuan cantik malah takut dan tak menyapa sedikitpun. Tapi bro,
waktu itu perempuan yang aku temui bukanlah perempuan biasa. Aku terdiam
terduduk di atas tempat tidur. Tak bersuara satu kata pun tapi hati ini terus
berbicara ikut berkomentar. Tak sedikitpun melirik ke arah pintu. Kali ini aku
benar-benar takut.
Aku
memberanikan diri beranjak dari tempat tidur. Aku berjalan menuju teras. Lagi,
aku kembali kaget. Dia telah berdiri tepat di samping kusen pintu menatap daun
pintu kamar. Kembali aku mundur dibuat nya. Tapi kali ini, perempuan cantik itu
lebih berani. Dia malah maju mendekati aku hingga aku jatuh dan terduduk.
“Kau
siapa?” aku coba beranikan diri untuk bersuara dengan usaha yang begitu keras.
Dia hanya berdiri dan diam seribu kata.
“Hey,
kau siapa?” kali ini aku mulai memberanikan diri. Berdiri tepat dihadapannya.
Aku tatap matanya, tapi matanya hanya menatap lantai kosong dengan tatapan mata
kosong.
“Hey,
kau siapa?” dan kali ini aku menggunakan tangan. Aku tunjuk dia. Malah dia yang
terlihat ketakutan.
“Aku
muak dengan manusia!” bentak dia, tiba-tiba.
“Apa?
Lantas kau siapa? Bukankah kau manusia?” tanyaku keheranan.
“Hahahaha…
Dasar manusia! Manusia itu bodoh. Selalu tak pernah puas! Hanya memikirkan
nafsu belaka!” kini perempuan itu semakin menjadi-jadi. Matanya melotot. Murka.
“Kau! Sama seperti mereka. Manusia-manusia bodoh!”
“Hey!
Apa maksud mu?”
“Sekarang
sudah jam berapa? Dan kau? Masih belum tidur? Apa alasanmu? Belum mengantuk?
Dan ketika akan Adzan Subuh tiba. Kau tertidur? Lantas?”
“Aku
tak mengerti!”
“Memang
manusia-manusia seperti kaulah yang lalai. Pura-pura tidak mengerti. Naif!”
“Lantas
apa mau mu?”
“Mau
ku? Hahahaha, kau memang bodoh. Sini biar aku bisikkan!”
“Aku
tidak mau! Kau bukan manusia!”
“Terus?
Masalah buat kau? Ok lebih baik kita berdamai. Kita berbicara baik-baik.”
“Sudahlah.
Kau memang makhluk yang rumit. Lebih baik kau keluar dari kamarku!”
“Keluar?
Apa urusanmu? Suka-suka aku!”
“Kalau
kau tak mau keluar, aku akan teriak!”
“Hahahaha
apa peduli ku?”
“Dasar
makhluk aneh! Keluar kau dari kamarku!” aku semakin murka dengan makhluk yang
berwujud perempuan ini.
“Kau
yang aneh! Manusia BODOH!”
“Kau!
Sekali lagi, kalau kau tak mau keluar! Aku akan benar-benar teriak!”
“Hahahaha,
teriak saja sepuasmu. Teriak sekencang mungkin. Bila perlu hingga semua
tetangga mu keluar. Dan kau, akan dianggap GILA!”
Sepertinya
makhluk ini sangat senang ketika aku mulai memperlihatkan murka yang berlebih.
Akupun mulai tersadar dengan skenario yang dia buat. Dia sengaja membuat aku
marah dan berbuat perilaku ceroboh seperti yang dia inginkan. Aku mulai
mengendalikan emosi ku dan mengusir dia secara halus. “Sudahlah, lebih baik kau
pulang ke rumah mu. Aku mau istirahat dulu.” Pintaku dengan lembut.
“Ah
sudahlah. Kau tak perlu menahan emosi. Semua terlihat di raut muka mu. Kau
malah terlihat lebih bodoh lagi. Kalau kau terus menahan emosi mu, kau akan
semakin cepat tua. Makan hati. Aku tau kesehariaan mu. Tak perlu kau sok
begitu.” Celoteh dia panjang lebar.
“Iya
tidak apa-apa. Tuhan suka dengan orang yang sabar. Lebih baik kau pulang saja.
Sebentar lagi matahari pagi akan terbit.”
Melihat
aku tidak terpancing emosi dia lagi, tiba-tiba raut muka nya malah berubah
sedih. Menunjukkan bahwa dia benar-benar terpuruk. “Kau tega! Kau mau mengusir
aku? Aku tak punya siapa-siapa di luar. Aku tidak punya rumah.”
“Yah
kau kan ada teman-teman. Ikut saja dengan mereka.”
“Aku
tidak punya teman. Aku mau mencari teman seperti kau.”
“Berteman?
Kita sudah beda dunia. Beda alam.”
“Mengapa
manusia seperti kalian tidak mau berteman dengan bangsa kami. Bukankah kita
sama-sama makhluk ciptaan Tuhan?”
“Bukan
tidak mau. Tapi ini sudah menjadi tanggungan kalian. Ini dampak yang kalian
lakukan dulu. Kalian para iblis selalu membuat skenario. Selalu menggunakan
topeng.”
“Itukan
nenek moyang ku dulu. Aku tidak begitu. Aku berbeda dengan mereka. Aku
kesepian. Kenapa harus aku yang selalu mendapatkan getah dari tindakan mereka.”
“Nah
itukan, sekarangpun kau malah mengkambing hitamkan leluhur mu.”
“Bukan
begitu, cobalah kau rasakan jika menjadi seperti aku! Aku juga terkadang
bingung dengan Tuhan mu. Tidak ada yang mau memberi tahu aku soal Tuhan. Lantas
mengapa kau masih percaya dengan Tuhan mu? Padahal kau tau, Tuhan mu itu
sungguh tak adil. Kenapa dia mengusir kami para iblis? Kenapa kami di tempatkan
di neraka? Padahal kami juga sama-sama ciptaan Tuhan. Bukankah Tuhan mu maha
adil? Lantas dimana letak keadilan itu?” oceh iblis itu mencoba menggoyangkan
keimananku.
“Kau
tau apa arti iman? Aku selalu yakin Tuhanku selalu ada di dekat ku.”
“Ah!!!
Apa itu iman? Makanan jenis apa lagi?”
“Ah
sudahlah! Percuma berbicara dengan makhluk seperti kau. Tidak akan pernah
selesai. Selalu ingin menang sendiri.”
“Loh
loh… ini hanyalah perbincangan bukan perdebatan yang sedang dipertandingkan.
Aku hanya ingin membuka pikiranmu saja. Tak ada maksud lain.”
“Ha?
Haruskah aku percaya dengan makhluk seperti kau?”
“Ok
baiklah! Sekarang lihat keadaan hidupmu? Kau berada dibawah. Lalu lihat
teman-teman mu yang lain? Mereka sudah sukses! Mereka mendapatkan jabatan yang
tinggi. Sedangkan kau? Masih di bawah! Kau tahu perasaan keluarga mu? Mereka
kecewa dengan apa yang telah kau raih selama ini. Lantas, di mana Tuhan mu?
Apakah kau tetap bersikukuh Tuhan mu maha adil? Ayolah kawan hidupmu
benar-benar sudah tak adil.”
“Ah,
aku yakin. Tuhanku pasti punya rencana sendiri. Aku yakin apa yang telah
diberikan oleh Tuhan, itulah yang terbaik buat aku sekarang. Aku selalu
mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan untukku.”
“Apa?
Apakah kau tidak sadar? Kau itu bukan bersyukur. Kau itu pasrah! Usaha apa yang
telah kau lakukan?”
“Aku
sudah bekerja. Aku terus bekerja dan berusaha memberikan yang terbaik buat
perusahaan.”
“Hanya
itu? Apakah kau tidak lihat? Atau kau buta? Teman-teman mu di luar sana
berusaha lebih keras dari kau. Mereka bekerja nonstop. Lihat apa yang telah mereka
raih. Jauh dari apa yang telah kau dapatkan sekarang.”
“Setiap
orang punya rezeki masing-masing. Itu telah ditetapkan oleh Tuhan.”
“Apa?
Rezeki? Lantas buat apa kau terus bekerja? Bukankah rezeki akan datang sendiri!
Tapi, lihatlah sekarang, kehidupan mu! hidupmu masih terus melarat. Sudahlah
kawan mari berteman dengan ku. Aku akan tunjukkan sesuatu yang lebih indah dan
kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan. Yakinlah!”
“Astaghfirullah,
sudahlah! Kau sudah cukup membuang waktuku dengan percuma. Matahari akan segera
terbit sedangkan aku belum Shalat Subuh. Suduh cukup, aku tau apa mau mu. Kau
mau aku melalaikan subuh ku hari ini kan. Maaf itu takkan terjadi lagi.” Aku
tersadar, dan mencukupi perdebatan dengan makhluk itu. Aku berjalan mendekati
dia hingga dia bergerak mundur menuju pintu teras luar. Saat dia benar-benar di
luar, aku segara menutup pintu dan pergi ke kamar mandi untuk ambil wudhu lalu
menunaikan Shalat Subuh.
Setelah
aku menutup pintu hingga aku selesai shalat, makhluk itu tak berhenti mengetuk
pintu. Terus mengoceh untuk mempengaruhi aku. Maaf, kau tak beruntung hari ini.
Mohon jangan pernah coba lagi. Biarkanlah aku percaya dengan Tuhanku.
Comments
Post a Comment