Sistem Pendidikan = Pabrik Robot



P
endidikan zaman sekarang bisa tergolong ke dalam kebutuhan primer. Kebutuhan dasar yang menjadi tombak dalam berkomunikasi dan melakukan aktivitas pekerjaan. Pendidikan diperoleh tidak hanya pada lembaga formal, seperti sekolah ataupun lembaga kursus. Ada banyak jenis pendidikan seperti pandidikan informal dan nonformal. Baiklah, pendidikan yang saya maksud adalah proses belajar untuk mendapatkan ilmu dari yang tidak mengerti menjadi mengerti. Mengapa demikian? Karena pendidikan dan ilmu mempunyai hubungan satu sama lain. Dengan pendidikan kita mendapatkan ilmu, dan dengan ilmu kita bisa menjadi orang yang berpendidikan.
Seperti firman Allah swt. di dalam Al Qur`an, yang berbunyi,
“...Allah swt. akan meninggikan orang – orang yang beriman diantara  kamu yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (surat Al Mujadalah ayat 11)
dari ayat di atas, jelas bahwa ilmu merupakan acuan bagi kita untuk membedakan orang yang benar - benar berpendidikan atau tidak. Berkaitan dengan ayat di atas maka ilmu dan pendidikan memiliki hubungan yang erat.
Nah, untuk memperjelas argumen saya, mari kita lihat makna pendidikan dari orang - orang terkenal yang kita ketahui.
Menurut Ki Hajar Dewantara ( Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, 1889 – 1959), “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.”
 Ibnu Muqaffa (salah seorang tokoh bangsa Arab yang hidup tahun 106 H – 143 H, pengarang Kitab Kalilah dan Daminah) mengatakan bahwa, “ Pendidikan ialah yang kita butuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang akan menguatkan semua indera kita seperti makanan dan minuman, dengan yang lebih kita butuhkan untuk mencapai peradaban yang tinggi yang merupakan santaan akal dan rohani.”
Menurut Plato ( filosof Yunani yang hidup dari tahun 429 SM – 346 M) menjelaskan bahwa pendidikan adalah membantu perkembangan masing-masing dari jasmani dan akal dengan sesuatu yang memungkinkan tercapainya kesempurnaan.
Dari tiga pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu proses belajar untuk mendapatkan ilmu untuk menjadi yang lebih baik, dari yang tidak mengerti menjadi mengerti dan bisa didapatkan kapanpun, dimanapun dan dengan siapapun.
Tidak hanya dari orang dewasa, guru ataupun seorang ahli kitab, kita bisa mendapatkan suatu pendidikan itu dari siapapun dan apapun, bisa melalui buku, pengalaman kita sendiri, pengalaman orang lain, ataupun film. Kita juga bisa mendapatkan nya kapanpun tanpa mengenal waktu dan batas waktu. Bukankah kita telah mendapatkan pendidikan itu sudah sejak dini, sejak kita dilahirkan? Yah, bahkan, pendidikan bisa diawali dari sebelum bayi lahir, seperti yang dilakukan oleh banyak orang tua dengan memainkan musik dan membacakan sebuah cerita kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa medidik bayi mereka sebelum kelahiran. Kita juga bisa mendapatkannya dimanapun itu, tidak ada batasan dimana kita harus mencari ilmu, semua tempat bisa kita jelajahi untuk mendapatkan ilmu. Seperti kata pepatah “tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina”. Bagaimana dengan anda? Sudahkah berbuat demikian?
Baikalah, kita telah mengupas beberapa teori – teori tentang pendidikan, mari kita lihat bagaimana realita sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Sebelum nya, kalau bicara tentang sistem, mungkin para pakarnya akan lebih ahli. Tapi bagi kita sebagai masyarakat umum yang tidak berkecimpung dalam hal itu, mungkin hanya bisa melihat dan menilai bagaimana dengan prakteknya, dan tidak hanya melihat dan menilai dalam teorinya saja. Saya coba menganalogikan hal itu pada setiap praktikum siswa atau mahasiswa, dalam setiap praktikum pastinya memiliki ralat saat membuat laporan. Hampir disetiap praktikum ada perbedaaan antara praktek dan teori. Hingga saat menghitung persen penyimpangan pun terkadang mendapatkan nilai penyimpangan yang sangat besar. Analogi di atas merupakan praktek  dengan obyek benda mati yang tidak memiliki sifat labil atau berubah semaunya. Lah, bagaimana dengan praktek para pemerintah saat menetapkan hukum tentang pendidikan? Bagaimana dengan prakteknya, saat guru yang menetapkan kurikulum  untuk muridnya? Bagaimana dengan kepala sekolah yang menetapkan aturan untuk masyarakat sekolahnya? Apakah saat praktek, semua berjalan mulus dan lancar?  Apakah  semua masyarakat bisa menjalankannya? Tidak, semua jawaban tidak. Pasti ada kendala dan semua yang ditetapkan di dalam praktek nya juga pasti ada perbedaan dengan teori nya. Dan pasti harus adanya ralat dari alat ukur ataupun tolak ukur yang digunakan.
Sebelum kita menceburkan diri ke hal yang serius, mari kita tinjau dulu bagaimana tujuan pendidikan di Indonesia. Pada pembukaan UUD 1945 negara  Indonesia, di sana tertera sangat jelas bahwa salah satu tujuan bangsa Indonesia adalah “..., mencerdaskan kehidupan bangsa ...”. Bukankah dasar mencerdaskan itu harus berilmu terlebih dahulu? Pastinya! Lalu, bagaimana dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh petinggi-petinggi bangsa Indonesia yang kita cintai ini.  Saya berikan contoh tiga tujuan pendidikan secara umum di Indonesia, diantaranya ada pada UU No 2 Tahun 1985, TAP MPR NO 4/MPR/1975, dan TAP MPR NO II/MPR/1993. 
Baiklah, saya akan mengingatkan salah satu isi dari tiga ketetapan di atas. UU No 2 Tahun 1985 berisi “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Mah Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa.” Sangat jelas! Indonesia ingin seluruh masyarakatnya cerdas, berilmu dunia dan akhirat. Jadi bagaimana dengan prakteknya? Apakah semua sudah berjalan? Mari kita jawab dibenak kita sendiri.
Terus bagaimana dengan pendidikan dan sistem pendidikan di Indonesia? Apakah berbasis hal di atas? Yah, tentu. Pendidikan di Indonesia menurut saya bersifat gotong royong dan berbasis sesuai dengan pernyataan di atas. Mengapa demikian? karena di Indonesia banyak lembaga pendidikan, baik itu pendidikan formal, informal dan nonformal, semua ada. Semua lembaga ikut memberikan pendidikan, baik itu lembaga pemerintah ataupun non pemerintah. Dan pada dasar nya tujuan lembaga seperti itu ialah “menderdaskan”. Lalu, bagaimana dengan sistem pendidikan formal di Indonesia? Yah, saya akan berargumen sesuai dengan yang saya lihat, sistem pendidikan di Indonesia masih kurang baik, masih kurang AMPUH untuk mewujudkan tujuan dari bangsa ini sendiri. Sistem yang menurut saya masih kacau dengan beberapa kebijakan yang membuat dilematis belaka. Saya ambil beberapa contoh untuk kita kupas bersama, mengenai kebijakan pada kurikulum dan penentuan kelulusan yang hampir tiap tahun atau tiap periode itu berbeda. Bukankah dengan kebijakan yang kerap kali berubah ini membuat tujuan pendidikan Indonesia menjadi terlihat tidak mantap, atau bisa dibilang masih plin plan dengan tujuannya, padahal tujuan pendidikan di Indonesia telah jelas dan telah menjadi Undang – Undang Dasar, iya kan!
Yah, itu tadi menurut kacamata saya, lalu bagaimana dengan realita lapangannya. Saya telah bertanya pada beberapa orang guru, mahasiswa dan masyarakat umum.  Akan saya simpulkan beberapa jawaban, tanggapan dan saran dari mereka dengan poin – poin berikut, mari kita simak,
1.      Masalah evaluasi akhir atau UN tidak bisa disamaratakan sebagai penentu kelulusan, karena setiap sekolah berbeda - beda.
2.      Kurikulum sebaiknya menggunakan sistem SKS karena mental siswa sekarang sudah mulai terpengaruh oleh hal-hal yang membuatnya beralih untuk tidak belajar.
3.      Pelatihan guru. Hendaknya ada pelatihan peningkatan mutu mengajar, bukan hanya sekedar membahas kurikulum saja.
4.      Sistem perekrutan guru, tidak bisa disamakan dengan sistem perekrutan pegawai - pegawai lainnya. Karena guru tidak hanya penting pintar secara kognitifnya saja, tetapi guru mesti punya kemampuan dalam transfer pengetahuan. Punya softskill bagaimana cara mendidik.
5.      Kalau bisa pemerintah membuat sekolah khusus seperti IPDN untuk guru.
Poin – poin di atas adalah realita sekarang yang kita dapatkan. Memang hasil prakteknya banyak dinilai negatif. Walaupun begitu, kita tidak bisa mengenyampingkan realita yang benar – benar terjadi. Toh, itu adalah hasil praktek yang didapat. Tapi dari beberapa argumen di atas seharus nya bisa ditinjau ulang bagaimana mesti nya. Jika ingin meningkatkan mutu pendidikan nasional, tidak hanya menaikkan nilai standar kelulusan UN setiap tahunnya. Tetapi seharusnya, bagaimana cara memperbaiki sistem pendidikan nasional yang di dalamnya terdiri dari beberapa elemen penting. Elemen guru adalah elemen yang sangat penting, apalagi dengan kurikulum KTSP yang diterapkan sekarang. Pada kurikulum ini guru berwenang menyusun  silabus, bahan ajar, standar kompetensi, sistem penilaian dan sebagainya secara otonomi sekolah. Lah, setelah membuat hal yang demikian, UN menjadi standart kelulusan, kok bisa? Yang saya tahu sekarang sih, penentu kelulusan diambil dari 40% nilai raport (semester 3 - 6) dan 60% nya hasil nilai dari UN. Berbeda dengan tahun saya saat kelas 12 SMA, UN menjadi standart kelulusan. Dengan kebijakan yang selalu berbeda -  beda tiap tahunnya, maka upaya untuk memajukan pendidikan nasional yang ditempuh akan menjadi sebuah dilematis belaka.
Hingga ada teman saya berargumen seperti ini, “sistem pendidikan di Indonesia sudah jadi pabrik robot. Siswa-siswa sudah kayak robot percobaan, harus diprogram sesuai kemauan si pembuat (dalam hal ini penguasa). Siswa yang pintar matematika pasti dipuji walaupun dia bobrok dipelajaran olahraga, sedangkan siswa yang sebaliknya malah dianggap bodoh gara –gara tidak pintar matematika. Padahal kemampuan siswa sama tapi pada bidang yang berbeda – beda, ada di bidang seni, olahraga dan lainnya. Jadi siswa sekarang sudah merasa tidak at home lagi di sekolah, banyak terjadi intimidasi yang datangnya dari sistem pendidikan yang salah.” Bagaimana bisa seorang mahasiswa yang sekarang sedang belajar untuk menjadi calon guru di masa depan dengan gelar sarjana pendidikan mengungkapkan hal demikian, jika memang sistem pendidikan dan standarisasi pendidikan sudah benar. Baikalah KTSP dibuat oleh sekolah masing masing. Lah, bagaimana dengan UN apakah dibuat oleh sekolah masing - masing? Tidakkan! Dan di dalam UN otak siswa harus disetting tingkat nasional, padahal selama ini settingan mereka ada pada KTSP sekolah mereka. Apakah dengan beberapa hari itu adalah penentuan pembunuhan berencana? Siswa telah menempuh pendidikan selama tiga tahun dan akan hangus tiga tahun itu jika mereka tidak lulus. Sebuah tragedi. Dari sistem KTSP dan UN pun terlihat bagaimana sistem pendidikan di Indonesia.
Baiklah saya akan membuka realita lagi yang berkaitan dengan peran pada sistem pendidikan yang digunakan sekarang yaitu KTSP. Peran yang  sangat penting bagi kelancaran pendidikan dan sistem pendidikan di Indonesia. Oke, saya membaca ini di komentar blog, dia berkomentar seperti ini,  “ profesi guru tidak cukup dihargai dengan lagu Hymne Guru yang membuat bulu kuduk merinding, atau tidak bijak bila profil guru diidentikkan dengan sosok Oemar Bakri yang culun, apalagi dengan sosok guru yang ditayangkan di iklan atau sinetron yang menggambarkan guru yang lemah, galak dan jadi bahan tertawaan. Guru Indonesia, mari kita buktikan bahwa kita memiliki profesi yang mulia, luhur dan bermartabat, tunjukkan dengan daya kreasi dan inovasi yang kompetitif karna guru adalah pemahat negeri Nusantara.”.
Bukan maksud saya menyalahkan dan tidak mendukung. Saya setuju pada beberapa kalimat terakhir dari pernyataan ini tapi, mari kita lihat dari berbagai sudut pandang. Bagaimana dengan kenyataannya? Bukankah hal di atas memang sudah realita terjadi. Dan bukan maksud saya memprotesi pernyataan di atas.  Memang guru yang seperti itu tidak banyak dijumpai tapi, selama saya berstatus sebagai siswa dan hingga sekarang, hampir setiap sekolah yang saya dengar memiliki guru seperti itu. Guru dengan karakter yang seenaknya sendiri, dengan alasan agar berbeda dari yang lain. Terkadang ada guru yang hanya megisi absen dan selebihnya siswa di tuntut belajar sendiri, kalaupun dia menjelaskan, apa yang dijelaskan susah untuk dimengerti. Yah, jika kita kembali pada logika apakah guru seperti itu masih patut menjadi contoh. Saya bukannya meluapkan emosi, tapi ini hanya sedikit gambaran dari kehidupan nyata. Dan yang nyata itu tidak bisa dipandang sebelah mata atau disampingkan. Karena sesuai pepatah karena setitik rusak susu sebelanga.
Oleh karena itu, bagaimana jika ditinjau dari dasar nya terlebih dahulu? Dasar yang terdiri dari beberapa elemen yang sangat berperan penting pada penetapan sistem pendidikan. Seperti kurikulum, guru, bahan ajar, sistem penilaian, dan sistem belajar. Jika semua dasar itu bisa terlaksana, bagaiamanapun nama sistem pendidikan tidak akan jadi masalah. Dan sistem itupun akan berjalan lancar, karena dasarnya sudah dibenahi.
Wah sepertinya kritik di atas sedikit pedas yah! Ok ok kita akan melihat kaca mata yang sebaliknya. Jika ada tanggapan negatif seharusnya ada hal positifnya juga toh! Nah ini lah sambungan analogi di atas, yang kita analogikan sebagai teori dari pemerintah. Mari kita simak kebijakan pemerintah bagi pendidikan dan sistem pendidikan di Indonesia. Sejak orde refromasi yang bergulir tahun 1998 pemerintah  telah membuat langkah-langkah nyata antara lain;
1.      Melaksanakan program sertifikasi guru secara bertahap dan berkelanjutan.
2.      Mencanangkan sekolah wajib 9 tahu.
3.      Memberikan kesempatan untuk ujian paket bagi yang tidak lulus ujian.
4.      Memberikan dana BOS.
5.      Menetapkan anggaran pendidikan dari total APBN pertahun 20% harus alokasikan untuk pendidikan. Walaupun sampai tahun 2007 ini yang real baru mencapai 10 % sampai 15%.
6.      Memberi tunjangan profesionalisme guru sebagaimana diatur dalam UU tentang Guru dan Dosen.
Poin – poin di atas yang saya berikan adalah kebijakan pemerintah untuk memperlancar sistem pendidikan  di Indonesia. Nah, ini juga realita yang terjadi di Indonesia. Tapi mari kita bandingkan, hal positif di atas yang merupakan tindak lanjut dari pemerintah (teori), sedangkan tanggapan negatif dari masyarakat yang sebagai obyeknya ini adalah realita atau hasil praktikum pemerintah. Lah, bagaimana cara menghitung ralat dan persen kesalahan nya? Mari kita ambil pena dan kertas, dan mulai menghitung sendiri – sendiri!
Walaupun sistem pendidikan di Indonesia yang menurut saya dalam keadaan dilematis, ternyata masih ada masyarakat Indonesia yang turut serta mengembangkan pendidikan di Indonesia tapi dengan sistem pendidikan yang berbeda. Contohnya, Indonesia mengajar dan ITB untuk semua, kegiatan filantropi ini dilakukan oleh instansi independent, guna mencapai tujuan dari bangsa Indonnesia, yaitu mencerdaskan anak bangsa. Wah, sungguh masyarakat bangsa yang kompak, bersama – sama mewujudkan tujuan pendidikan bangsa Indonesia.
Dari banyak pernyataan di atas, setelah kita muter – muter, mengaduk – aduk dan mencampurkan berbagai argumen, kita tidak perlu mencari kambing hitam, mana yang benar dan mana yang salah. Bagaimana kalau kita para siswa dan mahasiswa mencoba berpositif thinking dengan semua yang kita lihat tentang sistem pendidikan di Indonesia. Jangan terlalu mempermasalahkan hal di atas, itu urusan petinggi – petinggi bangsa kita. Sebaiknya kita mempercayakan hal tersebut pada mereka, karena saya yakin setiap petinggi ataupun pemimpin pasti akan melakukan sesuatu yang terbaik, hal ini juga dijelaskan di dalam Al Qur`an, yang berbunyi,
“...Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (surat  Al Baqarah ayat 247)
Bagaiman kalau saya sarankan bagi para siswa dan mahasiswa untuk berbenah diri mengenai cara belajar kita. Apakah cara belajar kiat sudah benar? Lalu bagaimana dengan sistem belajarnya? Yah, saya harap belajar bagi kita tidak menjadi suatu kewajiban seperti program pemerintah wajib belajar 9 tahun tapi menjadi, Butuh Belajar Seumur Hidup? Jika hal demikian terjadi, saya yakin selama menempuh pendidikan formal akan menjadi suatu kebutuhan. Nah, dari hal di atas saya ambil sistematika logikanya, Belajar > Berilmu > Berpendidikan. Jika kita melakukan itu semua maka setidaknya kita sudah sedikit membantu pemerintah dalam mewujudkan tujuan bangsa. Sekarang hanya tergantung pemerintah yang tinggal membenahi bagaimana sistem pendidikan yang sudah berjalan ini. Yah, menurut saya sih tinggal menambal sisi – sisi yang kurang baik saja tak perlu terlalu melakukan banyak eksperimen karena jangan sampai sistem pendidikan ini di katakan seperti pabrik robot.
Nah, jika semua itu sudah berjalan mari kita fokus belajar agar bisa berilmu dan menjadi orang yang benar – benar berpendidikan. Loh tapi kalau kebanyakan belajar nantinya kepala jadi botak depan kayak profesor dong! Terus, belajar lama – lama  bisa pake kacamata minus loh! Lagian kebanyakan belajar bisa bikin bete sih, soalnya kalau saya kebanyakan belajar bisa ngurangin temen! Kan waktu ngobrol sama teman jadi berkurang tuh!
Loh loh loh, saya harap kita tidak berpikiran seperti yang di atas. Yah, Semoga saja! Agar hal di atas tidak terjadi pada kita, saya perlu merekomendasikan satu buku yang menurut saya patut dipunyai setiap perpustakaan sekolah sebagai bahan bacaan atau bagi yang memiliki rezeki lebih mungkin bisa membeli buku nya. Saya yakin buku ini akan ampuh membangkitkan semangat belajar, yang sesuai dengan judulnya, “AMPUH Menjadi Cerdas Tanpa Batas karangan Baban Sarbana dan Dina Diana”. Yah saya sudah mempunyai buku ini. Saya merasakan efek yang besar setelah membaca buku ini. Dan saya yakin hal serupa akan anda rasakan setelah membaca buku ini. Saya juga merekomendasikan anda nonton film. Tapi, tunggu dulu, saya tidak merekomendasikan semua judul film untuk anda tonton. Saya punya satu rekomendasi film yang bisa menjadi acuan  bagaimana pendidikan itu ditempuh seharus nya, dan bagaimana kita belajar seharus nya. Saya acungkan 20 jempol jika jari saya adalah jempol semua untuk judul film ini, “3 Idiot” yah mungkin ada yang sudah menonton film ini. Bagi yang belum, mungkin saya sarankan anda menonton nya. Sungguh film bollywod ini akan menggugah hati anda dan insyaallah akan mengubah persepsi kita tentang cara menempuh pendidikan yang sebenar-benarnya. Dari cara anda belajar yang belajar itu menghafal dan mengejar prestise akan berah menjadi  memahami pelajaran itu dan mengaplikaskannya. Semoga saja!
            Nah, sesungguhnya belajar dan mendapatkan ilmu adalah tanpa batas, karena akal kita untuk memproses ilmu agar bisa dipelajari adalah tanpa batas. Yah, tergantung kemauan,  tekad dan keyakinan kita untuk mendapatkan itu. Karena kau adalah apa yang kau pikirkan dan kau ada karena kau berpikir. Jadi tunggu apa lagi? pendidikan bisa kau dapatkan kapanpun, di manapun dan dengan siapapun. Karena Allah swt, juga menyerukan pada kita hal berikut, “pendidikan, penjagaan dan penumbuhan oleh Allah di alam ini haruslah diperhatikan dan dipikirkan oleh manusia sedalam-dalamnya, sehingga menjadi sumber pelbagai macam ilmu pengetahuan yang dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kemuliaan Allah, serta berguna bagi masyarakat” (Muqqadimah Al Faatihah).

DAFTAR PUSTAKA
Al Qur`an Al Karim dan Terjmahannya, penerbit PT. Karya Toha Putra Semarang.
Terjemahan Riyadhus Shalihin jilid 2, penerbit Pustaka Amani – Jakarta.
Sarbana, Baban dan Dina Diana. 2002. AMPUH Menjadi CERDAS Tanpa Batas. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
_. UUD 1945REPUBLIK INDONESIA AMANDEMEN . 2005. Solo: Adzan Putra.

DILEMATIS CITRA GURU DAN MUTU PENDIDIKAN NASIONAL Oleh   : USMANI HARYONO, SPd SMA   : Trimurti Surabaya

Comments

Popular

Asiknya Mandi di Air Terjun Sando, Lubuklinggau, Sumatera Selatan

Lidah Mertua: Kumpulan Puisi yang Sangat Menggugah Hati

TERUSKAN SAJA SEMAUMU HINGGA USAI

OPPO Service Center Lubuklinggau Siap Melayani Kamu

Puisi Resah Sang Pencari Kerja