Saya Tidak Bersalah
“Duaaaarrrr......!”
Hantaman keras menggelegar di ruangan
itu. Hantaman pada meja yang tak bersalah. Sekali dua kali mungkin cukup, tapi
ini lebih dari itu. Hantaman yang
berdentum dan menggema memekakkan telinga. Membuat bulu kuduk berdiri.
“Sumpah demi Tuhan, kalian berbicara
demikian. Tuhan tahu semuanya. Tuhan mendengar semuanya!” bentak nya.
Harus mengakui kesalahan yang sebenarnya
tak dilakukan adalah perbuatan seorang pengecut, dan saya telah melakukan itu.
Tidak ada pilihan saat itu, mengalah untuk menyelesaikan masalah. Ketika itu,
mungkin dia pikir dia lah sang raja yang sedang mengintrogasi anak buahnya
karena dia mendengar dari orang bahwa anak buahnya sedang memfitnahnya. Sungguh
lancang anak buah seperti itu. Dan jika anak buah itu benar – benar melakukannya,
saya sangat mendukung sang raja untuk menghukum anak buah itu. Tapi bagaimana
jika sang raja hanya mendengar selentingan itu, lantas dia menghukum. Sungguh
saya yakin dia bukan sang raja yang bijak.
Suara dentuman, lengkingan, teriakkan, marah,
membuat suasana merah membara. Untungnya suara itu tidak bisa didengar oleh
orang – orang yang ada di luar. Ruangan itu kedap suara, hanya ada satu lampu
pijar yang redup, satu meja lebar berwarna coklat dilengkapi kursi empuk dan
dua kursi kayu di hadapan nya yang sedikit lusuh, ditambah kursi-kursi yang
berderet di pinggir-pinggir dinding ruangan. Tak ada jendela sama sekali, hanya
ada pembatas dinding triplek berwarna putih di bagian kanan dari pintu dan
dinding di sisi kiri, depan dan belakang yang juga berwarna putih. Sebagai
sedikit penyejuk ruangan ditambah kipas angin lusuh berdebu yang tergantung di
atas. Sebagai ventilasi, sedikit celah yang ada di dinding belakang dan sedikit
tinggi untuk dijangkau, celah itu menghadap parkir motor guru. Black room.
Black room adalah nama yang disebut - sebut para siswa selama ini. Ruangan
panas yang seakan neraka, jika masuk ke dalam sana. Itu lah yang dinamakan neraka
sekolah bagi para siswa.
Tak banyak siswa yang mempunyai
keinginan masuk ke sana. Biasanya yang akan masuk ke sana adalah siswa – siswa
bersalah dan para petinggi yang seolah - olah berhati suci bersih dan mereka
penguasa ruangan itu. Yah, para petinggi yang memiliki kuasa atas ruangan itu
dan sebagai penguasa. Mereka lah yang
akan menang jika para siswa masuk ke ruangan itu. Ruangan yang seakan tempat
arena pertarungan sang jahat di mata mereka dan sang benar di mata mereka juga.
Hingga di akhir pertarungan, yang menang sudah ditetapkan, mereka lah yang
menang! Sang penguasa ruangan. Tak ada
yang bisa mengalahkan mereka jika sudah masuk ke dalam sana. Mereka yang akan
merubah diri mereka menjadi malaikat putih berwajah ganas dan buas dengan api
yang membara di sisi belakang, atas dan sisi pinggirnya. Seperti seorang yang
sedang kerasukan, berubah dengan tiba-tiba. Berevolusi dengan tak wajar. Saya
kira tempat itu sudah dipenuhi jin - jin dan setan - setan. Menyesaki setiap
sudut ruangan, dan menghantui setiap helaan nafas manusia yang berada di
ruangan itu. Melayang dengan tak indah, merasuki, dan meracuni pikiran.
Melotot, dan mendengar setiap kata, tak diberi celah sedikit pun untuk
berbicara kebenaran.
Di tempat itu lah amarah diluapkan. Di
tempat itu lah cacian dilimpahkan. Di tempat itu lah tuduhan dilontarkan. Di tempat
itu lah sumpah terlarang dikeluarkan. Di tempat itu lah pengakuan paksaan
diucapkan. Di tempat itu lah janji sepihak disepakati. Tak ada yang adil. Mereka
lah penguasa yang membabi buta. Menutup mata hati. Tak akan ada yang adil.
Dan saya adalah salah satu yang pernah
menjadi pemeran di ruangan itu, menjadi petarung di arena itu, dan menjadi
tersangka di ruangan hitam itu. Akhirnya saya merasakan juga tempat hitam itu. Sungguh
kasihan, tragis, dan tak habis pikir nasib saya pada saat itu. Sebagai lawan
peran, lawan petarung, dan sang pengintrogasi adalah guru saya sendiri. Dia lah
sang pemenang pada arena dan pertarungan yang dia buat sendiri. Pemenang mutlak
tak bisa diubah. Kata nya dia tahu segalanya, sudah mencicipi garam dunia,
pahitnya dunia, manisnya dunia, gelapnya dunia, dan terangnya dunia. Itu yang
mungkin ingin dia tonjolkan dari kalimat panjang yang dia lontarkan pada
ceramah saat itu. Kalimat – kalimat dengan membandingkan dirinya pada seorang
bocah yang belum terlalu mengenal pahit dan kejamnya dunia. Perbandingan yang
tak sewajarnya dan tak selevel. Menganalogikan hal itu dengan pertarungan tinju
antara petinju kelas Paus dengan petinju kelas Teri. Sungguh mengenaskan nasib
sang Teri. Teri yang malang.
Ada satu hal yang terbesit di pikiran saya,
adakah dia menjadi lebih dewasa, bijaksana, merunduk bagai padi, dengan seluruh
pengalaman yang dia ceritakan. Adakah itu dia dapat kan? Saya rasa tidak.
Bisakah semua masalah diselesaikan tidak dengan amarah yang membara? Bisakah?
Bagaimana jika diselesaikan dengan kepala dingin dan hati bersih. Dengan otak
bukan dengan otot. Menggunakan kecepatan otak bukan dengan kecepatan mulut.
Dengan otak sarjana sesuai dengan nama belakang tambahan yang dia emban. Bukan
dengan otak siswa yang masih belum berpengalaman. Bisakah tidak dengan amarah
saat menyebut nyebut ayat-ayat Tuhan? Bisakah tidak dengan menyebut-nyebut lagi
ayat-ayat Tuhan jika sudah tahu kau pemenangnya? Bisakah itu terjadi?
Sepertinya itu percuma saat itu,
pembelaan yang tiada guna. Ingin mengungkapkan yang sebenarnya tapi sang
pemenang hanya ingin jadi pemenang, tak ingin disalahkan dan dikalahkan.
Sedikit mengungkapkan kalimat yang sebenarnya terjadi, akan disambar dengan
berpuluh – puluh pembalikan fakta. Dia menganggap kami yang memutar balikkan
fakta, tapi nyatanya dia lah yang begitu. Lagi – lagi tak mau dikalahkan. Dia
lah sang benar, sang pemenang. Ketika ingin melakukan pembelaan, tak sedikit
disambar dengan dentuman pukulan ke meja. Ditambah lagi pengakuan paksaan. Lagi
dan lagi dia lah sang pemenang. Percuma rasanya membuka mulut, mengeluarkan
suara, merangkai kata, dan membuat kalimat, karena saya hanya sebagai samsak
yang siap dihantam, dipukul, ditinju, diterjang bahkan bisa jadi dicabik –
cabik sesuai kehendak sang penguasa. Saya hanya tertegun, terdiam, menunduk dan
mematung. Air mata seakan air bendungan yang siap meluap, tapi saya segan untuk
mengeluarkan air asin itu hanya karena perihal seperti itu. Biar lah saya
terlihat lemah dengan pengakuan paksaan itu. Dan tak akan saya tampakkan
kelemahan saya melalui air mata ini. Biar lah saya mengeluarkan emosi saat saya
telah keluar dari sana, meninju dinding, menerjang dinding, memukul dinding dan
memaki dinding. Biar lah sang penguasa puas lahir dan batin!
Hari
pertama, kedua dan ketiga, tiga hari di sekolah bukan menuntut ilmu tapi saya
dituntut ke ruangan hitam. Hari keempat saya tidak hanya dipermalukan di depan
sang pemenang, dan sang petinggi sekolah. Saya harus siap menanggung malu
dengan mengakui kesalahan yang tidak saya perbuat, dan saya harus mengakui saya
adalah sang pemfitnah, di depan seluruh masyarakat sekolah. Tidak hanya itu,
supaya lebih puas dan biar dunia tahu, saya harus menggunakan toa untuk berbicara.
Sungguh, mau di letakkan di mana muka saya! Semua itu hanya untuk memperoleh
maaf darinya. Sebuah tuntutan kata maaf agar masalah ini selesai. Entah lah
siapa yang salah. Saya hanya yakin kesalahan bukan milik saya semata. Dan saya
hanya lah bocah yang baru berumur 15 tahun, dan harus menghadapi itu semua.
Biar lah dia merasa menang. Biar lah dia merasa puas. Biar lah dia merasakan
nikmat Tuhan. Dan biarkan lah saya percaya dengan Tuhan. Saya yakin Tuhan
melihat itu, Tuhan lah yang tahu semua dan saya masih mempunyai Tuhan yang tahu
kebenarannya.
Saya hanya berharap di setiap sekolah
tidak membuat black room yang seakan seperti neraka sekolah. Buat lah white room
yang bisa menyejukkan hati bocah. Meluruskan hati bocah yang sedang melakukan kesalahan,
dan melenceng ke arah yang sesat. Menasehati, menunujukkan jalan yang benar,
memberikan arahan, jika bocah itu salah. Membimbing, membuatnya menjadi damai
dan memberikan dentuman semangat. Memegangi, mendekap, dan menuntun, hingga
bocah itu tepat pada jalan yang benar. Menyelesaikan masalah dengan tuntas
hingga semua merasa impas, dan semua merasa untung dikedua belah pihak.
Menyelesaikan dengan hati yang bersih dan jernih. Bukankah itu mencerminkan
sang guru sejati?
“Dan (bagi)
orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan
apabila mereka marah mereka memberi maaf.”(Q.S. Asy Syuura,42)
Comments
Post a Comment