AKU AKAN MATI



Dua hari ini perutku mual tak ada yang bisa diserap dari makanan yang aku makan. Hanya tersisa tiga hari lagi untuk bisa menikmati hidup di dunia ini. Walau semua makanan hambar rasanya tapi tetap saja aku makan untuk menghormati buatan istri tercinta. Aku perlihatkan ekspresi muka seperti sedang menyantap makanan yang sangat lezat. Setelah itu semua makanan habis, keluar semua dari mulut ini. Mungkin mereka mengerti aktingku selama ini saat sedang menyantap makanan. Ah, tapi biarlah yang penting aku sudah berusaha membuat mereka senang sebelum maut menjemputku.
Dua hari ini juga keringat dingin keluar dari badanku setiap aku selesai shalat. Menggigil. Dingin yang menusuk ke tulang bagian dalam. Terkadang aku meratap dikala sendiri. Tak bisa aku tutupi lagi untuk pengaruh keringat ini. Betapa tidak, keringat keluar terus menerus dari tubuhku. Tak pake kompromi. Keringat ini telah membasahi sekujur tubuh bagian atas. Mukaku basah bukan kepalang. Tak lama diserang keringat, badanku terkulai lesu, tak berdaya.  Tak bisa berbuat apa-apa. Hanya senyuman yang bisa aku berikan, menandakan bahwa aku baik-baik saja.
Tak banyak pintaku setalah aku divoniskan hanya bisa bertahan selama lima hari lagi, bahkan bisa kurang. Aku hanya ingin selalu terlihat tampan di depan mereka. Aku hanya ingin terlihat bahagia di depan mereka. Aku hanya ingin terlihat sehat di depan mereka. Tak banyak lagi, aku hanya ingin mereka bahagia selama lima hari sisa hidupku.
Terkadang tak adil rasanya. Dokter seakan Tuhan yang bisa memutuskan takdir manusia. 25 tahun sudah aku lalui penderitaan ini. Penyakit ini sudah seakan teman setiaku dimanapun dan kapanpun. Terkadang penyakit ini menggangguku tak kenal tempat, tak kenal waktu. Bisa dibilang penyakit ini sering tak bersahabat dengan ku, muncul tanpa kompromi. Tapi apa boleh buat saya anggap itu adalah takdir Tuhan.
Tapi sekarang apa maksud dokter ini bahwa waktuku cuma lima hari. Tak tau kah dokter itu, jika aku baru saja mempersunting wanita cantik dan baik hati ini menjadi istriku. Baru tujuh bulan aku jalani hidup bersama istriku. Benih-benih penerus keturunanku pun belum sempat menuaikan hasil. Sungguh tak adil. Istriku malang, istriku yang sial, mendapatkan suami sepertiku. Jika jodoh apa boleh dibuat, aku memang mendambakan seorang istri soleha yang cantik dan Tuhan benar-benar menurunkan bidadari surga ini. Tak sekalipun istriku mengeluh akan penyakitku ini. Dia selalu menebarkan senyuman kebahagiaan di tengah kesakitanku.
*Keesokan harinya
Hari ini aku hanya berharap aku bisa tetap makan dengan lahap walau akhirnya akan keluar juga. Dokter telah memperingatiku sejak hari pertama aku divonis akan kematian ini. Badanku sudah tak bisa menerima asupan makanan-makanan lagi. Sejak saat itu juga selang infus ini sudah tertancap ditangan kiriku. Itulah sumber tenagaku satu-satunya. Peringatan ini tak akan aku gubris. Bagaimana tidak, dokter yang seakan malaikat pencabut nyawa itu telah menyumpahiku akan mati dalam beberapa hari lagi. Dan sekarang melarang aku memakan semua makanan enak itu. Toh jika benar, aku akan mati sebentar lagi. Aku tak mau menyianyiakan hari-hari terakhirku ini.
Tak tau kenapa kali ini aku merasa ingin melihat istriku tampil cantik dengan gaun yang megah. Tak segan aku ucapkan keinginanku ini. Seperti biasa balasan senyuman dia lemparkan padaku. Lalu dia memelukku erat seakan tak mau berpisah dengan ku. Entah apa yang dia rasakan, tak bisa aku tebak.
“Ini tak perlu kau kabulkan sayang.” Bisikku dikupingnya. Tak sepatah katapun dia ucapkan. Sesaat setelah itu dia melepaskan pelukan itu dan memberikan sebuah anggukan padaku. Semakin bingung aku dibuatnya. Entah apa maksudnya, apakah dia mengabulkan permintaanku atau dia mengiyakan perkataanku sebelumnya. Ah, tapi biarlah, aku tak begitu mengharapkan itu. Setelah itu dia pergi meninggalkanku entah kemana. Sesaat setelah itu aku baru sadar bahwa bahu ku telah lembab. Sepertinya dia ingin menyembunyikan air mata ini dariku.
Dari sebelum makan siang istriku sudah tak kelihatan. Dikamarpun tak ada. Aku rasa dia berusaha mengabulkan permintaanku itu. Sesaat sebelum makan siang dia datang dengan gaun putih yang megah. Dia sangat cantik. Benar-benar seperti bidadari surga. Bahkan aku yakin seperti inilah bidadari surga itu. Entah kerasukan apa, aku bisa sampai berfikiran untuk meminta istriku memakai gaun ini. Padahal saat pernikahanpun aku tak meminta istriku menggunakan pakaian semegah ini.
Istri idaman yang telah aku kagumi sejak lama ini, sebenarnya mempunyai orangtua yang kaya raya. Tapi dia lebih memilih menjalani kehidupan dengan ku dan meninggalkan zona nyaman di keluarganya. Walau begitu aku tak pernah sedikitpun mengungkit ini. Aku tak mau menyulut api karena aku terlalu sayang dia.
*Hari keempat
Setelah shalat subuh keringat dingin kembali menggerogotiku. Tapi tak mau aku tampakkan rasa menggigilku ini di depan istriku, karena subuh ini sungguh istimewa. Istriku tampil cantik, sangat cantik bahkan lebih cantik dengan menggunakan mukena yang biasa dia pakai. Lebih cantik saat dia menggunakan gaun kemaren. Rasa menggigil ini sudah semakin mereda dengan melihat kecantikannya. “SUBHANALLAH” “ALHAMDULILLAH” terima kasih Tuhan kau telah memberikan istri yang sempurna untukku.
Pagi ini bahkan lebih aneh lagi. Istriku yang biasanya setelah shalat subuh selama dua hari ini selalu menyiapkan sarapan pagi, atas permintaanku, tapi kali ini tidak. Dia tak beranjak sedikitpun dari kamar ini. Setelah shalat tadi dia mencium tanganku lebih lama dari biasanya. Tak tau kenapa. Dan tanganku sudah semakin basah, basah oleh keringat ditambah air mata dari istriku. Bisa aku rasakan itu. Tak ingin lama tenggelam dalam kesedihan. Aku angkat bahu istriku dan aku kecup dahinya dengan mulut yang bergetar. Tak berlangsung lama. Istriku beranjak dari sajadah dan mengambil sebuah Alquran. Dia berikan Alquraan itu padaku dan memintaku untuk membacakan Surat Yasin. Segera aku kabulkan permintaan itu.
Tenang rasanya setelah membaca Surat Yasin. Keringat itu sudah tak lagi menyerangku, dan sekarang bajuku telah lembab dibuatnya. Walau begitu, kamar kami subuh kali ini tercium sungguh harum. Harum melati. Letih rasanya dan aku beranjak mengajak istriku istirahat di atas ranjang. Berat rasanya kelopak mata ini. Aku rebahkan badanku di atas kasur. Istriku tepat berada di sebelah kananku tak berjarak. Sebelum dia berbaring, dia kecup dahiku dan kali ini bibirnya terasa sangat dingin, hampir seperti es. Sesaat setelah berbaring dia mengucapkan kata-kata sayang dalam bahasa arab yang sering dia ucapkan padaku sebelum tidur dan setelah bangun tidur. Anehnya kali ini rentetan kata-kata indah itu lebih panjang dari biasanya. Dan aku tak mengerti dibagian akhir yang lebih panjang itu. Aku hanya bisa membalas dengan senyuman dan memberikan dekapan hangat.
Mata ini tertutup tanpa aku sadari sesaat setalah melihat sinar matahari mulai mencoba menampakkan cahayanya dengan susah payah menerobos melewati kisi-kisi gorden jendela kamar kami. Jam tujuh aku dibangunkan ibuku dengan mengetuk pintu kamar. Yah, setelah vonis itu disumpah serapahkan padaku, semua keluargaku berkumpul di kediamanku dan istriku. Rumah baru, kado pernikahan untuk istriku. Aku buka pintu kamar dengan sempoyongan. Ibuku mencari istriku untuk mengajak menyiapkan sarapan. Aku hampiri istriku yang sama tertidur juga denganku subuh itu. Dia belum melepaskan mukenanya. Aku bangunkan dia. Tapi tak kunjung ada reaksi. Aku coba sekali lagi. Nihil. Aku coba merasakan nafas dihidungnya. Tak ada sama sekali. Aku coba rasakan nadi ditangannya. Tak ada detakan lagi. Aku coba rasakan detak jantung di dadanya. Tak ada detak sama sekali. Terdiam sebentar aku dibuatnya hingga akhirnya aku berteriak memanggil kakak ku yang dulu adalah seorang perawat. Dan hasilnya sama. Istriku telah pergi. Pergi mendahuluiku. Pergi lebih cepat dari pada aku. Tak tau penyebabnya. Padahal yang divonis adalah aku. Tak tau aku harus memberikan protes apa pada Tuhan.
Sesaat setelah benar-benar dipastikan bahwa istriku telah tiada. Kondisi badanku semakin drop dan detak jantungku semakin tak beraturan. Aku coba menenangkan diri hari ini. Mencoba ikhlas. Mencoba menerima kenyataan pahit untuk yang kesekian kalinya. Mencoba menerima ketidak adilan yang kembali diberikan Tuhan padaku. Hari ini aku hanya terdiam di samping istriku tak berdaya. Doa senantiasa selalu aku haturkan. Aku sungguh tak berdaya. Tak ada tenaga sedikitpun. Terkulai lesu. Tak bisa berfikir lagi. Semua urusan pemakaman diurus oleh keluargaku. Yang aku tahu istriku akan dimakamakan besok, karena menunggu saudaranya yang berada di Arab.
Malam ini, semakin letih aku karena berdoa seharian. Aku mencoba meraih laptop, membuka dokumen baru dan mulai menekan tombol-tombol di laptop. Sudah lama rasanya tak menyalurkan hobi merangkai kata ini. Tapi inilah aku. Aku mencoba menuangkan semua nya sesaat setelah vonis tak adil itu. Semua rentetan aneh yang aku alami ini. Besok adalah hari kematianku, “KATANYA”, dan hari ini adalah hari kematian istriku. Aku rasa ini adalah jawaban Tuhan.
Istriku sayang. Istriku tercinta. Bidadari surgaku. Telah pergi mendahuluiku. Pergi melintasi jagat raya ke langit ke tujuh. Tak tau apa penyebabnya dan aku tak mau tau. Aku telah bosan dengan sebab akibat yang ada di dunia ini. Biar penyakit ini cepat menggerogoti tubuh ini. Sekarang aku sangat berharap vonis itu benar aku dapati. Aku ingin tetap bersama istri yang ku kasihi. Membangun gubuk kecil yang nyaman, dan indah.
Membangun sebuah rumah tangga dengan memiliki banyak anak, di akhirat nanti. Istriku sayang. Istriku tercinta. Aku selalu ingin menjadi darah dalam tubuh mu semenjak kita bertemu. Jika torehan cinta kasih ini tak aku lanjuti maka aku telah mati menghadap sang Ilahi.

Comments

Popular

Asiknya Mandi di Air Terjun Sando, Lubuklinggau, Sumatera Selatan

Lidah Mertua: Kumpulan Puisi yang Sangat Menggugah Hati

TERUSKAN SAJA SEMAUMU HINGGA USAI

OPPO Service Center Lubuklinggau Siap Melayani Kamu

Puisi Resah Sang Pencari Kerja