SANG Ga` Penting
Kalau dibilang orang penting, mungkin bisa jadi tidak.
Kalau dibilang sibuk, mungkin sedikit. Kalau dibilang menyibukkan diri, mungkin
90% ya. Tapi itulah kegemaranku selama aku mengenyam bangku sekolah dari SD,
SMP, dan SMA. Bukan maksud hati menyombongkan diri, tapi inilah aku. Aku baru
tamat dari Perguruan Tinggi, baru merasakan, indah dan suramnya hidup ini tanpa
sekolah. Entah bagaimana hidup para saudara yang belum sempat, ataupun belum
pernah merasakan indah dan menggelikan detik-detik selama di sekolah. Mungkin
masa-masa seperti itulah yang takkan
terulang dan terganti.
Itu tidak bagiku. Sudah sejak bangku SD aku sudah mulai
menginjaki, masa-masa yang seharusnya belum saatnya aku jamahi. Terlalu dini
bagiku. Mengemban tanggung jawab dan jabatan tinggi yang belum saatnya aku
emban. Hingga tak bisa menikmati hari layaknya anak normal. Tapi itulah takdir,
harus aku jalani dan nikmati bersama jalannya waktu. Bersama orang-orang yang lebih tua dariku,
tak satupun kujumpai sebaya denganku. Hal itu terus berlajut hingga SMA, tapi
untungnya semasa SMA tidak terlalu tinggi jabatanku dalam organisasi dan aku
telah terbiasa dengan hal semacam ini.
Entahlah, dimasa SMA masih kutemui orang-orang yang
kurang bertanggung jawab dengan posisi yang dipercayakan kepada mereka. Alhasil
orang yang terlalu baik, loyal dalam segala hal, pekerja, bisa jadi layaknya
babu, dan full time untuk kepentingan
bersama tanpa ada rasa egois sedikitpun, menjadi korban keganasan pekerjaan
itu. Bermula saat aku menjabat sebagai wakil ketua OSIS di SMA. Seharusnya
jabatan itu tidak terlalu berat untuk dijalani. Tapi tidak untukku, mungkin
karena loyalitasku terlalu tinggi hingga terlihat hanya aku yang ngejalani hal
itu dengan sangat sibuknya.
“Pid, kamu ya yang
ngerjain kosep acara ini. Habis itu kamu presentasi
konsep itu dan kita jalani bareng.” Begitu celoteh manis sang ketua OSIS,
hingga aku menuruti dan mendapatkan getah semua itu. Semua telah aku jalani
dengan penuh semangat dan itu terselaesaikan dengan apik dan sempurna. Tak lupa
juga aku presentasikan bagaimana
konsep acara itu. Perfect. “Kita
jalanin konsep itu, dan kamu harus tetap stand
by ya, Pid. Dan ngaturin ini, okeh.” Begitu tanggapan sang
ketua OSIS.
“Ga
bisa gitu dong, aku kan bukan ketuanya, aku hanya konseptor. Dan semua sudah
aku jelasin dengan kalian se-detail mungkin. So kalian tinggal ngejalaninya doang, ga ribet kok. Aku ga mau stand by di rungan ini dan harus aku
lagi yang ngejalani nya. Kita bagi tugas. Kalo ga, aku ga bakalan ambil
bagian!” balasku geram untuk yang kesekian kalinya. “Tapi pid, yang tau semua
jalannya acara ini hanya kamu, loh. Terus gimana kalau kami lupa atau kurang
paham. Jalan pikir kita beda. Ayo dong, mau ya, okeh.” Dengan berat hati aku
iyakan beban itu, berkat rayuan gila dan karena kasihan. Hasilnya seperti yang
telah lalu, semua bekerja dengan setengah hati. Antara mau dan tidak. Imbasnya
aku sendiri yang kembali menjalankan semua itu. Bodohnya diriku, yang kurang
egois. Menguras tenaga, waktu, pikiran, uang, hanya untuk kepentingan bersama
tanpa memikirkan keadaan aku. Yah, badan kurus. Terlalu sering tidur malam. Dan
begitu juga indeks prestasi akademikku yang signifikan menurun. Begitu, terus
begitu, jatuh kedalam lubang yang sama. Huft!.
Tak
bisa berbuat apapun, karena sudah aku jalani. Tak bisa terulang lagi masa yang
harus aku perbaiki, karena sifat sok baik itu. Puncaknya saat aku mendapatkan
jabatan sebagai ketua pada organisasi ekstrakulikuler yang sangat penting bagi
sekolah itu. Semua aku emban dengan semangat, karena aku mendapatkan posisi
penting dan teratas dalam hal ini. Ditambah lagi mendapatkan pembina yang
begitu kreatif dan berpengalaman. Hingga akupun terlalu dekat dengan pembina
ini. Dia masih lajang dan bisa dibilang muda, walaupun beda umurku jauh dibawah
dia. Semenjak itu, hampir seluruh waktu, aku habiskan bersama dia. Tak hanya
mengurusi tentang kegiatan ekstrakulikuler saja, tapi akupun ikut berperan serta
dalam pekerjaannya, hingga aku lupa waktu. Terkadang lupa makan, lupa belajar,
tidur selalu larut malam, pulang hampir rata-rata diatas pukul 11.00 malam. Aktivitas
disekolahpun menurun, saat jam pelajaran sering ketiduran, telat sudah sangat
sering aku lakoni. Semua karena hanya untuk memikirkan ide-ide kreatif dan
ngejalaninnya, hingga membantunya dalam pekerjaannya.
Anehnya
aku menikmati semua itu, hingga aku tamat SMA, dan hanya berpikir positif
dengan semua yang aku jalani. Semua tenagaku hampir terporsir habis. Pada ujian
akhir, indeks prestasi akademikku dibawah rata-rata yang seharusnya mampu aku
gapai lebih dari itu. Tak luput juga protes kedua orang tua pun aku dapatkan,
karena hal itu. Yah, tak pernah
terpikirkan olehku hingga aku mendapatkan kejadian naas itu.
Gubrak.....
Prak.....
Hitam. Penuh binar. Gemuruh. Kosong. Darah terlalu banyak
keluar saat itu. Hingga aku kembali tak sadarkan diri, karena fisikku masih
lemah. Kembali teringat hal pahit itu.
Hanya segumpal cairan merah, kental, yang menyelimuti
bagian atas tubuhku. Beberapa detik itulah yang kuingat saat ini. Tersadarkan
diri, aku telah terkulai kaku di atas pembaringan kamarku. Mulut kaku, susah
untuk digerakkan. Lidah seakan beku dengan pita suara seakan terjepit. Aku tak
bisa mengeluarkan satu katapun. Kaki dan tangan seakan terikat beban yang
begitu berat. Hingga badanpun tak dapat aku gerakkan. Dentang jam terdengar
jelas mengiringi suasana malam saat itu. Tak terpungkiri, bendungan air mata
tak dapat menahan semuanya.
Semua telah tidur, dan aku tak bisa berbuat apapun.
Enyahlah setiap tetes air mata. Menggerogoti setiap detik kekosongan yang
menyelimuti kamarku pada malam itu. Hingga aku letih dan kembali tertidur.
#########################
Prat .....
Blek.....
Pedang itu telah terhunus dilengan atas tangan kananku.
Semula aku hanya ingin melerai kakak pembina dan teman
baikku, Mamad. Kakak pembina mungkin khilaf saat itu, karena Mamad dengan tak
sengaja menghancurkan pekerjaan yang telah kami kerjakan berhari-hari. Hingga
membuatnya marah dan mengayunkan pisau itu kearahnya. Tak dapat mengelak, aku
langsung mencoba untuk menahan amarah kakak pembina. Tapi dewa fortune hilang pada pagi pukul 02.00,
didepan gang tak jauh dari rumah Mamad. Hingga akulah yang menjadi sasaran
keganasan pisau itu. Pisau tertancap dilengan atas tangan kananku. Membuatku
terjatuh kesakitan, dan cairan merah, pekat, itu mengotori kami bertiga. Tak
henti cairan itu keluar dari lenganku. Tapi mereka hanya kaku, diam, dan lari
meninggalkanku sendirian. Walaupun suara teriakkan tolong terus terlontar, tak
sedikitpun tergoyahkan hati beku mereka untuk menolongku. Hingga aku lemas, tak
sadarkan diri. Bersama genangan darah kental disekujur tubuhku.
#######################
“Pid, bangun sudah pagi. Ayo mandi!” Pamanku membangunkan
aku dari tidur. Semua seperti biasa, aku kembali memimpikan kejadian pahit itu.
Tidak hanya itu yang aku alami, semua barangku, termasuk laptop yang baru aku
dapatkan 1 minggu yang lalu, seluruh isi dalam tas, dompet, hilang. Entah siapa
yang tega mengambil barang orang yang lagi terluka dan berlumuran darah. Hanya
orang yang tak punya hati yang mungkin melakukan hal seperti itu.
Berkah datang pagi ini. Kedua tanganku bisa digerakkan.
Sungguh suatu kemajuan yang lambat sampai saat ini, karena aku telah terbaring
2 minggu dikamarku. Orang tua ku masih sedikit marah, karena aku tak mendengar
perkataan mereka untuk tidak keluar pada malam itu. Serta, pelaku berdarah
itupun masih aku tutup-tutupi, walaupun orang tua ku melaporkannya ke polisi.
Masih saja semua tak terungkap. Entah siapa yang harus disalahkan.
Paman lah yang mengurusi aku selama ini, memberikan
motivasi, semangat, dan semua hal. Tapi aku patut bersyukur pada Tuhan karena
masih diberi-Nya kesempatan untuk hidup, walaupun sungguh menyakitkan kenyataan
ini untuk aku jalani. Sejak kejadian itu tak satupun dari mereka datang
menjenguk. Mamad dan kakak pembina, entah dimana mereka. Sampai saat ini aku
masih berpikir positif tentang mereka. Mungkin mereka lagi sibuk dengan
pekerjaannya, hingga tak sempat untuk menjengukku. Hari ini aku mencoba keluar
untuk menyapa mereka. Aku datangi tempat kami biasa berkumpul melakukan
pekerjaan. Rumah kecil, berwarna hijau dengan halaman yang kotor. Terlihat
Mamad sedang, bekerja dengan seriusnya. Mamad melakukan pekerjaan yang biasa
aku lakukan, tapi tak terlihat sama sekali wajah kakak itu. Aku sapa Mamad,
dengan memanggil namanya. Dihampirinya aku di depan pagar rumah itu. “Sedang
apa kamu disini, sudah sembuh ya? Sebaiknya jangan keluyuran dulu. Wajah kamu
pucat tuh! Lebih baik kamu pulang. Aku lagi sibuk!” Begitu tanggapan Mamad saat
menyambut kedatanganku.
“Mana kakak? Kalian sudah akur kan?”
“Kakak lagi keluar. Sudahlah jangan urusi lagi kami,
lebih baik kamu pulang. Pulang saja lah. Aku lagi tak bisa diganggu!” Bukannya
menjawab pertanyaanku malah mencoba mengusirku secara gamblang.
Tak enak karena sudah dibilang seperti itu. Aku
langkahkan kaki mejauhi rumah itu untuk kembali ke rumah. Walaupun hati sedikit
sakit mendengar sambutan yang tak mengenakkan itu. Sore harinya, aku duduk di
halaman depan rumah. Tiba-tiba aku melihat kakak pembina sedang mengendarai
motor. Tak segan aku keluarkan suara, mencoba memanggilnya. Spontan wajahnya
menoleh kearahku dan berhenti tepat di depan rumah. Akupun langsung membuka
pagar besi rumahku, dan menghampirinya.
“ Bagaimana kabarnya?, sudah baikkan? Maaf ga bisa
jenguk. Maklum pekerjaan numpuk.” Sambutnya ramah terhadapku.
“Emh... ga apa-apa kok, alhamdulillah sudah sembuh kak.
Gimana kerjaannya? Aku masih siap bantu lagi loh!”
“Waduh, kata Mamad kamu ga mau lagi bantuin kakak. Ya,
posisi kamu udah digantiin Mamad tuh. Lagian juga sebaiknya kamu fokus
untuk persiapan kuliah kamu deh.”
Jawabnya langsung denganku.
Tersentak mendengar pernyataan itu. Sedikit, nyaris tak
percaya dengan perlakuan Mamad pada ku.
“Ehm... ngomong-ngomong tadi pagi kakak ada di rumah ga?
Aku mampir loh kerumah.” Aku lantunkan basa-basi untuk mengetahui kejujuran
Mamad pada ku.
“oh... ada dong! Kebetulan pagi tadi kakak ngerjainnya di
dalam rumah.”
“Pid, ayo mandi! Sudah sore nih!” teriak pamanku dari
dalam rumah.
“Iya... bentar!”
“Aku masuk dulu ya, kak! Makasih udah mampir.” Tanggapku,
untuk menutupi rasa heran dengan kejadian hari ini. Kakak itupun langsung pergi
menjauh dari rumah. Aku langkahkan kaki masuk ke kamar, sambil memikirkan
perlakuan Mamad pada ku. Siapa yang harus dibenarkan dalam masalah ini?
Entahlah. Aku bingung dan sakit hati dengan kejadian ini.
Pengkhianat. Sempat tersirat diotakku. Percuma menjalani
persahabatan selama 4 tahun. Begini pembalasannya padaku. Begitu juga dengan
kakak itu, pekerjaan yang selama ini dikerjakan bersama. Melewati hari, hampir
setiap jam bersamanya. Semua sudah aku anggap dekat. Dengan gamblang, tanpa
rasa bersalah sedikitpun, setelah tak sengaja melukaiku. Tanggung jawab
sedikitpun tidak. Semua kerugian aku yang tanggung. Seakan semua kesalahan
tertoreh padaku, yang sebenarnya hanya ingin berbuat baik. Aku tidak bisa
berbuat apapun saat itu. Hingga beberapa hari kedepan, aku hanya memikirkan
kejadian itu. Secepat itukah mereka memutuskan semua ini.
3 hari kemudian, pamanku divonis dokter menderita
komplikasi paru-paru dan jantung lemah. Memang selama ini pamanku terlihat
selalu pucat, tapi dia selalu menunjukkan sikap kuatnya pada kami. Sehingga tak
nampak sedikitpun kalau dia sedang sakit. Hari-hari terlewati dengan begitu
saja. Jum`at, 17 April 2001, pukul 20.00, pamanku meninggal dunia di rumah
sakit. Sungguh berat posisiku saat itu. Harus kehilangan paman yang setia
menemaniku, mengerti aku di kala apapun. Hanya dia yang bisa mengerti aku dari
keluarga yang aku miliki.
Entah apa yang harus aku katakan pada Tuhan saat ini.
Semua yang aku miliki, hilang. Mereka yang aku sayang pergi. Orang yang aku
percaya berkhianat dariku. Tak bisa terungkapkan suasana hatiku beberapa hari
setelah kepergian pamanku. Mamad dan kakak pembina, tak sedikitpun terlihat
saat aku mendapatkan musibah seperti ini. Tak ada lagi yang bisa aku percaya.
Semua telah membuatku membatu. Merasakan sendiri saat mendapatkan timpaan besar
seperti ini. Sendiri. Tak ada satupun yang bisa diharapkan.
Aku menjalani hariku tanpa senyuman setelah mengalami
beberapa kejadian pahit ini. Semua persiapan kuliah sudah selesai dikerjakan
oleh orang tua ku. Aku hanya sebagai robot saat ini. Kepercayaan orang tua yang
hilang karena kejadian naas itu. Dan apa yang telah aku berikan kepada para
pengkhianat itu, loyalitas, materi, waktu, dan apapun itu hanya sebatas
pemanfaatan semata. Mereka mendapatkan penggantiku. Aku tersingkir. Tak ada
kata sahabat. Hilang. Mungkin aku kurang egois dalam menjalani hidup ini.
Seperti biasa penyesalan selalu datang terlambat. Waktu
tak bisa kembali, dan diulang untuk memperbaiki kecerobohan, kebodohan,
sekaligus kesalahan yang pernah kita lakukan. Tak ada guna disesali. Mencari
kambing hitam, meratapi nasib ataupun berhenti dari segala hal termasuk
bersedih. Ada baiknya belajar, dan memperbaiki kesalahan itu. Jadikan
pembelajaran berharga, mensyukuri segala hal, karena setiap hal pasti mempunyai
sisi positifnya. Terus maju dan jadi lebih baik. Hidup harus tetap berjalan,
hingga waktu akan menjawab dan berhenti sesuai waktunya.
Setelah semua kejadian itu sifat ku berubah drastis. Aku
bertekad untuk tetap kuat. Mencoba egois dalam hal positif. Memilah semua hal
yang bisa bermanfaat untukku. Menatap kedepan, khusyuk dalam menjalani
pekerjaan hanya untukku.
#####################
5 tahun kemudian.
Aku baru saja memimpin perusahaan milik orang tua ku,
yang diwariskan untukku. Telah aku lupakan semua bekas luka yang terjadi
beberapa tahun silam. Hari itu saat perjalanan pulang dari kantor. Seorang pria
dengan sepeda motor bututnya parkir tepat di depan pagar rumahku. Sangat jelas,
motor itu menghalangi ku untuk masuk. Aku lirik motor itu dari dalam mobil.
Seakan aku kenal dengan motor itu. Tapi tak aku pikirkan. Aku klakson
berkali-kali agar dia menyingkir. Entah dimana letak kupingnya berada, tak
kunjung dia singkirkan motor itu. Geram dengan perlakuan pria itu. Aku turun
dari mobil. Aku tepis motor itu dengan tangan.
“ Hei... siapa sih yang punya nih motor! Punya otak ga
sih! Bukan tempat parkir umum tau ga! Gila! Hei.... tau dari dong!” dengan
garang aku teriak di depan motor itu.
“ Dapid! Masih ingatkan? Kakak nih!” jawab pria itu.
“ Siapa ya? maaf ga kenal! Kamu yang punya ini motor?
Lihat-lihat dong kalo parkir, ga harus ditengah gini. Tau ga sih! Bolot banget
jadi orang.” Jawab ku sinis pada pria itu.
Aku langkahkan kaki masuk ke mobil dan menuju garasi
rumah. Tanpa sedikit toleh, langsung saja aku menuju ambang pintu masuk rumah.
Entah siapa pria itu. Mungkin aku sempat kenal dengannya.
Comments
Post a Comment