Terapi Menulis
Dulu saat
duduk di bangku SMP, saya merupakan
salah satu siswa yang pemalu, terutama dengan cewek yang saya sukai. Salah satu
sifat naluriah sebagai seorang anak laki - laki, saat itu saya sangat mengaggumi salah satu cewek
di sekolah saya. Ingin rasanya mengenal lebih dekat, tapi entah kenapa rasa
malu ini lebih merajalela.
Suatu hari
dia menghampiriku. Sumpah groginya setengah mati. Bingung, apa yang harus saya katakan.
Yah, ujung - ujungnya saya terlihat sangat bodoh di depannya. Banyak kata yang
ingin saya ungkapkan padanya, tapi entah kenapa mulut ini hanya bungkam seribu kata
saat di depan dia. Seperti istilah remaja sekarang "galau" tepat nya
begitu. Memendam kata - kata pujian yang tak tersampaikan, memang membuat
galau. Galau itu semakin menjadi jadi, sedangkan Ujian Nasional semakin dekat.
Tekanan dalam
diri lengkap sudah rasanya. Saya hanya memaksakan diri untuk belajar. Menggengam
buku latihan soal - soal. Tapi, yang namanya belajar dipaksa, hasilnya pasti
tidak maksimal. Akhirnya buku latihan saya menjadi korban kegalauan saat itu. Saya
mulai menggoreskan tinta di atas kertas yang serat akan ilmu itu. Disetiap space
kosong, saya tuliskan semua rasa dan asa yang tak pernah tersampaikan itu. Lama
kelamaan saya ketagihan dan terus meluapkan emosi perasaan sayang, galau dan kecewa,
di buku itu. Setelah menulis semuanya, entah kenapa saya bersemangat lagi untuk
belajar. Kebetulan saya menulis di buku latihan soal. Yah, jadinya sayapun
langsung membalik halaman dan mencari soal yang bisa saya kerjakan.
Hari
berikutnya, saat saya kembali memaksakan diri untuk belajar, saya menggengam
buku yang sama. Saya buka lembaran yang
penuh coretan itu. Saya tersadar, saya telah mengungkapkan seluruh rasa galau
itu pada setiap space kosong. Sayapun mengulangi kegiatan itu lagi
sebelum belajar. Lama kelamaan saya terbiasa menuliskan rasa galau di buku yang
tak berdosa itu.
Alhasil saya
bisa mendapatkan dua hal dari kegiatan saya ini. Pertama, saya bisa sedikit
lega setelah rasa galau itu saya tumpahkan ke buku latihan soal itu. Kedua,
saya menjadi tidak terlalu galau lagi, sehingga bisa bersemangat belajar
kembali. Dan terakhir, saya beruntung menuliskan hal itu di buku latihan soal,
karena saya bisa langsung latihan soal setelah menumpahkan semua rasa galau itu.
Padahal, saya kurang suka menulis buku harian. Tapi sekarang, coretan kegalauan
itu menjadi dokumen penting dalam sejarah kehidupan saya.
Comments
Post a Comment