dad



Melakukan hal terbaik di hadapan dia sudah sering aku lakukan. Entah apa yang ada dipikiran ayah hingga semua perbuatanku dinilai salah dan tiada arti.

Minggu depan adalah kelulusan SMA. Aku merupakan salah satu bagian dari peristiwa yang mendebarkan ini. Selama ujian aku telah melakukannya dengan maksimal. Selama hampir satu bulan aku mengurung diriku di kamar untuk belajar persiapan ujian nasional ini. Tidak ada televisi. Tidak ada handphone. Tidak ada laptop. Tidak ada games. Teman - temanku di kamar itu hanyalah segunung buku yang berserakan di atas tempat tidur, lantai dan meja belajar. Jam dinding di atas lemari pakaianku merupakan musik pengiring yang setia disetiap detik. Detak jarum detik pada jam senantiasa senada dengan detak jantungku saat aku kelelahaan. Istirahat tanpa suara gesekan kertas. Hasil semua usahaku ditentukan pada hari ini. Aku hanya berharap mendapatkan nilai sesuai dengan usaha yang telah aku lakukan.

"Kau pasti mendapatkan nilai yang terbaik Mar. Usaha mu sungguh keras. Orangtua mu pasti bangga punya anak laki laki seperti mu." celetuk Wawan saat kami sedang menunggu acara mulai di kelas.
"Ah sudahlah, tak perlu bergurau. Hal ini bukan apa - apa bagi ayahku, Wan."
"yah, tak apalah. Setidaknya kau telah berusaha dan masih ada ibumu juga, kan!"
"Kau tahu keadaanku Wan. Entahlah mau kemana aku setelah lulus dari sini. Mungkin aku akan jadi tukang ojek atau sopir angkot. Sesuai yang ayah katakan!"
"jangan begitu lah! Kau punya segalanya. Kau cerdas. Kau bisa gunakan hal itu sebagai modal. Jangan kau korbankan mimpi mu kawan."
"Yah biar Tuhan lah yang menjawab semua ini. Aku sudah kepalang tak mau berpikir lagi." aku mengakhiri percakapan itu dengan berpura pura pergi ke toilet.
"Tetap semangat kawan!" teriak wawan masih di atas bangku itu.

Wawan adalah sahabat karib yang tahu bagaiamana aku. Dialah tempat aku berkeluh kesah. Dia seorang pendengar setia. Yah, walaupun terkadang dia hanya diam tanpa kata dari awal hingga akhir aku bercerita. Terkadang juga tanggapan yang dia berikan tak sesuai dengan apa yang aku ceritakan. Beberapa kali dia juga sangat bijak, dengan tanggapan dan solusi yang dia berikan hampir - hampir seperti Mahatma Gandhi. Karena itulah kami semakin dekat dari waktu ke waktu.

Pak coi telah berada di meja guru depan kelas. Teman - teman dan orang tuanya sudah berdatangan untuk mengetahui hasil pengumuman ini.
Dan aku, duduk sendiri di kursi paling depan dekat jendela di temani oleh Wawan dan orang tuanya. Dengan senyuman khas dan salam hangat pak coi membuka pertemuan pagi itu dilanjutkan dengan absensi siswa kelas IPS 1, kelas kami. Sekarang, tiba giliranku,
"Umar mana orangtua mu? Undangannya sudah kau sampaikan, kan?" tanya Pak Coi.
"Sudah pak! Seperti biasa, ayah tak bisa meninggalkan pekerjaannya dan ibu tak bisa meninggalkan adik sendirian. Yah ini sudah resiko jadi anak paling tua pak." jawabku.
"Oh ya sudah. Kalau begitu!" Pak Coi melanjutkan absensinya.

Acara pagi hari ini yaitu pengumuman kelulusan dan pemberitahuan hasil nilai raport dan UAS. Siswa dipanggil satu - satu beserta orang tuanya menghadap Pak Coi di depan kelas lalu boleh pulang.
Dan aku mendapatkan giliran terakhir karena tak membawa wali. Pikiranku mulai melayang.  Seakan malaikat dan iblis mulai memainkan perannya di otakku.

"Apa susahnya meluangkan waktu sebentar untuk hari yang bersejarah ini. Lagian juga ini cuma sebentar. Menunggu sebentar. Menghadap pak coi. Mendengarkan dia sebentar. Pulang. Aku pikir ini hanya butuh waktu 30 menit. Ah, apalah arti aku dibanding uang yang dibutuhkan untuk makan keluarga ini. Ah, apalah arti aku dibanding dengan adik - adikku. Mungkin aku sudah tak dianggap lagi. Yah, benar kata ayahku, apa guna sekolah tinggi - tinggi. Mendingan aku jadi tukang ojek atau sopir angkot. Kata ayah dia akan memodaliku untuk hal ini dan akan membiarkanku hidup sendiri. Sungguh Tuhan sangat sayang padaku. Ujian tak kunjung henti menerpa. Merasakan pahit manisnya dunia sudah menjadi makanan sehari - hari ku. Seakan air mata ini sudah tak mau lagi keluar dari mata ini. Seakan aku sudah bebal dengan semua ini. Ingin rasanya pergi.  Ingin rasanya mengakhiri semua ini. Mungkin di akhirat lebih menyenangkan, terkadang aku berpikir barzah mau ku." pikir ku melayang.
Al hasil, lagi dan lagi. Yang menerima semua berita gembira ini hanya aku. Bingung harus bagaimana aku berekspresi untuk hal seperti ini.

Sesampai di rumah semua kertas langsung aku berikan pada ibu. Dia hanya berkomentar, "bagaimana hasilnya?" Setelah melihat semua kertas yang aku berikan. Aku bingung, lalu apa yang dilihatnya di kertas itu. Pertanyaan macam apa itu, bukankah jawabannya sudah ada disana! Aku bingung menjawabnya. Aku bereskan kertas - kertas yang sudah dia letakkan di atas meja dan aku menjawab sekenanya saja,
"aku lulus. rabu nanti akan ada perpisahan. tadi ada undangan untuk orang tua murid."
"ibu perlu datang kah?" tanya nya lagi.
"Terserah ibu!" Dan aku langsung pergi meninggalkan ibu menuju kamar. Aku tinggalkan kertas itu berharap ibu atau ayah membacanya lagi. Semua hasil nilai yang telah aku dapatkan.

Setelah hari pengumuman itu, aku hanya bisa kembali ke dalam kamar. Aku mulai meninggalkan semua buku - buku yang aku anggap sudah menjadi sejarah. Dua hari aku mengurung diri di kamar, menutup telinga dengan headset. Tak tau kabar dunia. Tak tau cuaca di luar.  Aku keluar kamar hanya untuk makan, minum dan pergi ke toilet. Sempat beberapa kali aku berpapasan dengan ayah. Entah apa yang dipikirnya. Entah dia tahu atau tidak. Entah dia ingat atau tidak. Sebelum pengumuman aku sudah sempat memberi tahu. Dan setalah hari itu, tak ada sedikitpun basa basi mengenai hasil kelulusanku. Aku tak berharap dia memberi hadiah. Aku tak berharap dia memberikan pelukan kasih sayang dia. Aku tak perlu jabat tangan dari dia. Aku tak perlu tepukan bangga dari dia. Setelah sekian lama aku merasakan hal yang sama dari tahun ke tahun. Akankah kau bertanya bagaimana keadaan ku ayah?

Sudahlah, tak ada yang bisa mengatur dan menasehati dia. Semua itu akan sia - sia. Hatinya seakan telah membatu untuk ku. Tidak untuk adik - adikku.

Saat  hari perpisahan telah tiba dan kembali lagi dan lagi, aku sendiri. Saat pemanggilan siswa berprestasi, aku hanya memasang senyuman yang di dalamnya mengandung pilu. Menerima penghargaan sendiri. Aku menatap photo perpisahan itu. Ada lima orang, dua orang temanku beserta orantuanya dan hanya aku sendiri. Lima tahun telah berlalu. Sekarang aku telah berada di negara yang terkenal dengan Daun Meapel. Sebentar lagi aku akan terbang meninggalkan negara ini untuk liburan pertamaku karena aku telah lebih dulu menyelesaikan proyek yang diberikan dosen. Di negara ini aku meneruskan sekolah ku, aku sedang melanjutkan S 2 ku. Sudah lima tahun juga aku tak pulang ke kampung. Maafkan aku ayah telah menjual mobil angkot yang kau berikan untukku. Maafkan aku ayah atas pertengkaran lima tahun yang lalu. Maafkan aku ibu tak memberi kabar lagi. Maafkan aku ibu dan ayah. Aku pergi tanpa izin. Aku memang anak durhaka. Dan terima kasih atas perlakuan pahit kalian selama ini, aku telah terbiasa dengan kejam nya dunia nyata. Aku telah menghancurkan karang dunia. Tak ada yang bisa menghentikan mimpi selama ada tekad dan niat untuk memulai dan mengakhiri. Sekarang inilah anakmu.

Jiwaku sekarang seakan berada di kampung halaman. Tinggal ragaku lagi. Aku pulang ibu. Aku pulang ayah. Aku pulang dik.

Comments

Popular

Menikmati Alaminya Wisata Danau dan DAM Gegas, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan

OPPO Service Center Lubuklinggau Siap Melayani Kamu

5 Tips Liburan Ala Film Brave (Walt Disney)

Puisi Resah Sang Pencari Kerja

Gajah Mada adalah Gaj Ahmada