Lakon Jiwaku
Hembus
angin sepoi pada pagi itu tak meretakkan jiwa. Bingung, betapa tidak hati kalut
membuat semua seakan terbalut. Entah apa itu? Aku tak bisa merasakannya lagi,
hal apa yang harus aku perbuat? Semua terlihat kosong. Pagi yang menjinggakan
seisi rumah, tak luput kamarku,
merasakan juga hangatnya sang perkasa jagat raya. Bersyukur masih bisa
melihat dan merasakan mentari pagi. Berjalan sedikit sempoyongan, mencoba
melihat keluar melalui mulut jendela di sudut kamarku. Seperti biasa, kicau
merdu sang burung, alunan musik si penjelajah sejati “si air bening”, nyanyian
pagi sang pelompat hijau, tarian indah si pewarna hidup “sang bunga”, dan semua
butir zat kimia penyejuk jiwa, tak terdengar dan terlihat. Tak aku jumpai lagi
sang pengisi jiwa dari alam yang terbentang luas, yang ada hanya deretan gedung
bertingkat 2, 3, dan 4 lantai, mulai dari bentuk klasik hingga modern. Semua
itu dimulai sejak aku menginjaki bangku SMP.
Di
setiap denyut jantung, dan alliran darah di nadi, pada pagi hari seakan
memberikan aku probabilitas untuk hidup lebih lama lagi. Aku pun mencoba
memanfaatkan waktuku dengan sejuta rencana lagi. Sesaat aku tersadar dan
membuka kelopak mata, terdiam dan menghirup udara yang tak begitu segar.
Setelah aku benar – benar bangun, terdengar berisiknya suara knalpot mobil dan
motor, suara mesin – mesin generator yang bising, suara orang yang berteriak,
dan berjuta suara yang telah siap menyambut disetiap pagiku. Entahlah, aku tak
memilih hal ini, tapi orang tua ku telah memilihnya. Sebuah tuntutan kehidupan
yang menyeret nya ke kota ini, dan aku tak luput ikut merasakan getah nya.
Entah
apa yang membuat kami tinggal di kota yang sesak ini, aku tak tau! Saat aku
pindah dan menginjaki kota sesak ini, aku semakin bingung dengan alur hidup yang
harus aku jalani. Aku bingung, apa yang membuat hidup ku berwarna, lebih
berarti, mengetahui arti hidup, bahkan lebih? Aku hanya menjalankan hidupku
dengan sejuta rencana, dengan keegoisan yang menggebu, dengan tekad yang tak
terlalu bulat, dan hanya bermodalkan nekat semata. Tak tau, bagaimana batasan
kemampuanku? Apa yang aku bisa? Aku hanya berpikir aku pasti bisa, entah apa
pun itu. Semua aku lakukan hanya berdasar kemauanku. Mungkin itu terlihat sombong.
Tapi tidak pada pandanganku hingga saat ini. Selagi aku tidak menganggu orang,
tidak merugikan orang, dan tidak membuat orang marah, semua rencana akan tetap
aku jalankan sesuai kemauanku.
Kembali,
aku pun masih bingung, apa yang membuat aku bertahan hidup? Apa yang membuat
aku mau melalui hidup ini pada setiap detik di atas bumi yang berbentuk elips
dan pipih ini? Hanya satu yang aku pikirkan, aku harus membuat orang tua
ku bahagia. Aku hanya ingin bisa lebih
berarti dimata keluargaku, hanya ingin bisa lebih berarti dimata orang – orang
terdekatku, hanya ingin lebih berarti dimata orang – orang yang mengenal aku.
Yah itu semua yang mungkin membuat aku mau tetap berpijak di bumi ini.
Selama
ini aku hanya mempunyai sedikit waktu untuk keluargaku dan banyak waktu untuk
temanku. Itu realita, tapi itu seharusnya tidak benar. Hidup yang tidak begitu
sempurna.
“Bagaimana
bisa ingin membahagiakan keluarga tapi tak meluangkan sedikit waktu untuk mereka!
Semua omong kosong belaka!”
Ah
biarlah itu terjadi, aku yakin orang tua ku pasti senang dan bahagia, jika
melihat aku sukses, walaupun aku tak begitu bahagia dengan apa yang aku capai.
Biarlah itu terjadi, toh itu semua juga banyak dilakoni anak – anak seperti ku.
Aku tak akan begitu menyesal. Biarlah ragaku ini bisa membuat mereka bahagia,
toh itu juga tujuan dari hidupku.
Biarlah
ragaku ini terhempas, terbanting, tersapu, melayang pergi jauh hingga ke negeri
antah brantah, tapi tidak untuk jiwaku. Jiwaku akan tetap kokoh, bertahan pada
setiap titik acuan yang aku yakini. Tapi, jiwaku ini akan tetap ikut bergerak
megikuti ragaku, dimanapun aku berada. Jiwa dan raga ku akan selalu bergerak,
jika bisa hingga mendekati kecepatan cahaya, dan semakin lambat waktu yang aku
rasakan, relatif dibandingkan kondisi orang – orang yang tidak bergerak di
sekitarku. Hingga ragaku mencapai overload
dari orang lain, dan jiwaku akan tetap teguh mengimani sang Maha Besar,
pencipta alam semesta. Jiwa untuk Tuhanku dan raga untuk orang tua ku. Yah,
mungkin inilah yang membuat aku tetap bertahan hingga nanti aku dimakan usia.
Comments
Post a Comment