Aku tak akan begitu, Bu!



Kehilangan mata hati dan perasa yang selalu menguntai kata – kata di setiap waktu adalah sebuah kehancuran terbesar bagi seorang penulis. Kehilangan kedua kakinya saat pertandingan final tepat di depan mata bagi seorang kapten tim pemain sepak bola adalah sebuah kehancuran terbesar dirinya dan kiamat bagi jiwanya. Kehilangan semua pengendali dan bawahannya bagi seorang kapten bahtera adalah kehancuran terbesar bagi dia dan bahteranya. Penghianatan terbesar yang paling menghancurkan hati adalah penghianatan dari seorang sahabat yang paling kita percaya. Kehancuran hati dan jiwa bagi seorang anak adalah saat ia tak lagi diakui oleh ibunya sebagai anak, telah di hapus dari ingatan sang ibu. Dan pendurhakaan oleh seorang anak kandung adalah hal yang paling sakit di rasakan seorang ibu dari pada sakit yang pernah ia alami saat melahirkannya.
Era sekarang seorang anak yang mendurhakai orang tuanya bukan lagi hal tabu. Hal itu telah menjamur. Ayat Tuhan, nasihat, pepatah dan contoh sudah kerap kali dikumandangkan di lingkungan untuk tidak durhaka. Bahkan Tuhan pun mengeluarkan ayat ‘syurga itu di telapak kaki ibu’. Semua telah dibutakan dengan fatamurgana dunia.
Hal yang paling mulia adalah saat seorang anak senantiasa setia mengurusi ibu dan bapaknya saat mereka sudah tua, tak kuat lagi berjalan, pandangan memudar, pendengaran semakin tak jelas, dan kulit yang semakin keriput mengguntai pada tulang belulang yang semakin rapuh. Tapi bagaimana jika kalimat kedua dari terakhir pada paragraf pertama terjadi, ‘saat ia tak lagi diakui oleh ibunya sebagai anak, telah di hapus dari ingatan sang ibu’. Hati seorang anak mana yang tak hancur jika mendapati hal itu.
Mak bagaimana keadaanmu? Aku baru datang dari kota, aku membawa suamiku dan anak – anakku? ” sapa ibuku saat turun dari mobil dan langsung menghampiri nenekku.
“ Siapa kau? ” jawab nenekku, kering.
Mar, mak! Mar, anak mu! ” balas ibuku sambil mengubah posisi duduknya semakin mendekati nenek.
Mar? ” jawab nenek singkat.
“ Iya Marni anakmu mak! ” balas ibuku dan kali ini tepat berada di hadapan nenek.
“ Siapa? ” jawab nenekku singkat.
Marni mak! ” balas ibuku lagi dengan suara keras dan semakin mendekatkan mulutnya kepada nenek.
“ Eh! ” dan jawabannya kali ini bahkan sangat singkat.
" Ingat mak? ibu semakin mengeraskan suaranya.
" Ah siapa kau? Jangan keras – keras kalau ngomong, pendengaranku masih jelas. Dan tak perlu terlalu dekat dengan wajahku, aku masih bisa melihat dengan jelas. Tubuh mu kurus sekali! ” dan sesungguhnya ibuku badannya gemuk saat itu.
######
Kali ini kami sekeluarga berlibur dan merayakan hari raya Idul Fitri di kampung kelahiran ibuku. Di sebuah kampung yang masih sangat terdalam. Butuh waktu 2 jam lebih dari pinggir kota untuk menuju kesana, karena kampung itu berada di kawasan pegunungan. Jalan jelek yang berkelok kelok, penuh dengan tanjakan dan turunan dan masih banyak jalan yang belum di aspal. Aku tak sanggup jika harus benar - benar menempuh perjalanan dalam satu hari ke sana. Kamipun menyiasatinya dengan mampir di rumah tante sekaligus menjemputnya dan pergi bersama – sama.  Semua anak – anak dan cucu – cucu serta cicit – cicit dari nenek saat itu kumpul semua. Satu keluarga besar. Sungguh ramai dan menyenangkan. Moment ini jarang terjadi dan mungkin tak akan aku temui lagi untuk kemudian hari. Jika mau dibuat dalam satu kendaraan, mungkin kami harus menyewa satu mobil truk.
Kami pun sampai dengan keadaan yang sangat letih. Suasana pantai menyambut kami, udaranya yang khas inilah yang membuat kami lupa akan letih. Terik mentari yang hangat, tak begitu terasa karena hembusan angin pantai yang tak henti menerpa. Deru hempasan ombak terdengar jelas saat kami keluar dari mobil. ‘uuuuhhh’ suasana yang sangat jarang aku temui dan sungguh menyejukkan jiwa. Sebenarnya rumah yang kami datangi ini merupakan rumah bibi, tapi karena nenek tinggal di sana jadi kamipun tinggal di sana. Rumah nenek yang merupakan kampung ibuku juga, sebenarnya masih jauh dan di sana belum ada listrik, setiap hari tanah selalu becek dan lengket. Bahkan saat malam hari, keadaan di sana sangat dingin, butuh beberapa baju tebal dan selimut karena aku tak terbiasa tinggal di daerah pegunungan.
#####
Nenek memang sudah sangat tua umurnya sudah lebih dari 1 abad. Pendengaran dan penglihatannya sudah semakin memburuk, dan hal itu sudah diketahui anak – anak cucu – cucu, dan cicit – cicitnya. Kami sering memanggil nenek dengan sebutan Emak. Emak masih sangat kuat kalau berjalan, apalagi berdiri. Emak masih terlihat sehat, tapi terkadang anak – anaknya terlalu mencemaskan kesehatan Emak. Yah, sering kali Emak sakit, bermacam – macam obat diberikan padanya, dan seringkali juga tidak Emak minum dan bahkan di buang semua obatnya. Sekarang Emak sepertinya sudah terkena pikun, suatu penyakit orang yang sudah sangat tua. Bisa juga di bilang alzheimer, suatu kondisi di mana sel-sel saraf di otak mati, sehingga sinyal-sinyal otak sulit ditransmisikan dengan baik. Kematian sel-sel saraf terjadi secara bertahap selama bertahun-tahun, dan mungkin ini yang terjadi pada Emak.
Kelakuan Emak sekarang sudah hampir seperti anak kecil. Ini kelakuan aneh Emak selama kami di sana. Entah dia memang punya penyakit itu atau dia mencari perhatian. Emak memang sangat jarang bertemu dengan anaknya, sudah bertahun tahun lalu hal semacam ini terjadi. Subuh itu udara pantai seperti biasa, sangat dingin tapi sejuk. Temaram lampu masih pada perannya saat itu. Suasana saat itu masih sangat sunyi, sepi belum ada tangis bayi, balita, anak kecil, tawa bapak – bapak saat mereka bercakap dengan besarnya, teriakan cemas para ibu yang meneriakkan anak – anaknya, dan suara cekikikan gembira dari kami para remaja. Saat itu masih sepi, deru ombak senantiasa setia menyambut subuh itu. Sebentar lagi azan subuh. Kali itu Emak buang air kecil di dapur, mak ini bukan tempat buang air. Kalau mau kencing itu di sana mak, di kamar mandi. kata bibi dengan lembut.
Ah siapa bilang. Aku biasanya kencing di sini. Jangan mengatur dan mengubah tempatlah! ” jawab Emak marah.
Mak ini dapur loh. Ayo kita kesana sekalian di bilas. Aku tunjukkin.” Emak menggerutu, mengomel tak berhenti tapi dia mengikuti hingga ke kamar mandi.
Loh, kamar mandinya sudah pindah sekarang? Sejak kapan kamar mandi ini pindah kesini? Kok tidak ada yang memberi tahu aku. aku belum mandi tiga hari gara- gara kamar mandi ini dipindahkan. Dasar kalian itu tidak ada perhatian sama sekali dengan ku! kata Emak dengan suara sedikit keras.
Emak, kamar mandinya memang sudah disini dari dulu! jawab bibi lagi.
“Ah sudahlah, kalian tak ada yang sayang denganku lagi! ” air mata Emak menetes, suaranya gemetar tapi dia terus mengomel tanpa henti. Bibipun memeluknya dan membawa Emak masuk ke dalam.
Tak lama berselang azan subuh terdengar. Mungkin Emak sengaja untuk membangunkan kami dengan ocehannya yang keras, atau memang Emak terkena penyakit pikun. Yah, memang kemaren kami tak banyak yang bangun shalat subuh tepat waktu. Kali ini kami semua terbangun dan kami semua shalat subuh berjamaah termasuk Emak.
Terik pagi di pinggir pantai itu datang. Tetes embun pada daun – daun segar yang sebelum terjatuh dan terhembus angin siang. Hempas ombak semakin kencang dan semakin jelas terdengar, ditambah semilir angin yang terus menderu dengan lembut. Emak sudah disibukkan dengan kegiatannya sendiri dan tak mau diganggu.
Emak lagi ngapain? Boleh kami ikut main? ” tanyaku dengan  Emak.
“Ah, sudahlah, tak perlu! Kau bermain saja ke pantai sana. Cari ikan, kepiting atau cumi – cumi. Ikan laut lebih segar dari pada ikan sungai, pastinya! jawab Emak, ketus.
Baiklah mak, saya tinggal yah! ” semua sepupuku yang sebaya ikut memberikan kata – kata itu dan langsung melangkah ke arah pantai.
Siangpun melingkupi suasana rumah yang tak begitu ramai saat itu. Para ibu sudah selesai masak dalam porsi besar untuk kami semua, dan sudah selesai membersihkan rumah. Para bapak sudah mulai letih dan kehabisan tenaga untuk berbicara dan tertawa. Tangis anak kecil sedikit berkurang karena sebagian tidur siang setelah diberikan susu dan suara cekikikan dari para remaja berkurang karena lapar sudah sangat terasa di lambung. Permainan musik perut keroncong tak elak menjadi bahan lelucon dan tertawaan, tapi tawa itu tak sesegar waktu pagi.
Emak masih pada kerjaannya. Tahu apa yang dia kerjakan? Dia seperti lagi bermain puzzle, menyusun marmer yang dia pecahkan dan kembali dia susun lagi membentuk segi empat. Setelah tersusun dia acak lagi dan di susun lagi, begitu terus menerus Emak lakukan hingga terik siang itu datang. Emak masih tetap di bawah pohon kelapa menggunakan sarung yang bergambar bunga warna warni dan kemeja yang sudah lama sekali umurnya, terlihat unik di pakai pada badan Emak. Baju itu masih tetap indah menghiasi kulit Emak yang sudah sangat menjuntai pada tulangnya yang mulai rapuh. Rambut putihnya yang sangat panjang dan bersinar, rambut yang selalu ia rawat tiap hari, ia sisir pada subuh, petang dan malam menjelang tidur. Rambut yang terurai itu acapkali sedikit terangkat karena hembusan angin ombak pantai. Emak memilih tempat yang teduh dan dia duduk di atas bata di tempat berpasir itu.
Emak lagi ngapain? Ayo masuk kita makan sama – sama! ” tanteku akhirnya menemukan Emak, setelah keliling bersama para ibu di sekitar rumah. Ternyata akhirnya dia ditemukan berada tak jauh di belakang rumah dekat pantai.
Kerjaanku belum selesai selesai dari tadi! jawab Emak, pendek.
Ya sudah aku bantu yah mak! tawar tanteku.
Tak perlu, aku bisa sendiri! Emak menyusun pecahan marmer itu dengan cepat dan kembali membentuk persegi empat yang rapi.
Tantepun setia menunggu hingga kelar. “ Wah sudah selesai mak nanti kita tempel marmer ini di depan rumah yah! Ayo sekarang kita makan dulu mak!
Kerjaan ku banyak sekali ini. kalian tidak ada yang mau membantu. Aku sudah sangat letih dari tadi. Kalian sibuk dengan urusan kalian masing – masing! ” Jawab Emak sambil kembali mengacak acak pecahan marmer itu.
Loh Emak kok di acak lagi. Ya sudah saya bantu yah mak? tawar tante lagi.
Tak perlu. Kalian tak ada yang sayang sama ku! ” jawab Emak.
Tante terdiam dan dia hanya memperhatikan Emak. Tante sedikit tertegun dan dia tak lagi dalam posisi jongkok, dia sudah terduduk. Pantatnya telah menyentuh pepasiran hanya berlapiskan celananya saja. Di bawah terik mentari itu Emak dan tante setia dalam diam mereka.
Hey mana Mak? Ayo ajak kesini makan! Ini sudah kumpul semua. ” Pekik bibi pertama.
Bibi menunggu sedikit lama tak kunjung ada sautan. Bibipun melangkah ke arah mereka. Omelannya langsung keluar saat tiba pada posisi tante dan Emak, memecah suasana diam saat itu. Bibi langsung memaksa dan membujuk Emak untuk masuk. Walaupun Emak tetap bersikukuh untuk tetap di sana tapi Emak tetap mengikuti sambil mengomel. Tante masih tetap terdiam. Bibi menyenggol badan tante dengan kaki nya, isyarat agar mengikuti masuk ke rumah. Emak masih tetap mengomel sepanjang jalan menuju rumah. Omelan itu sedikit mereda pada daun pintu menuju ruang tengah tempat makan kami. Tante memang kurang sedikit memaksa dan membujuk Emak, memang Emak harus diperlakukan begitu, jika tidak kita akan kalah dengan sikap kekanak- kanakkannya. Kembali lagi, apakah Emak terkena pikun atau tidak?
Suasana makan siang itu memang tak terasa seperti biasanya. Para anak Emak tersenyum lirih. Makan dengan keadaan terpaksa, ada luka hati yang menghinggapi dari setiap anak Emak. Aku akui makanan kali itu sungguh lezat, dan porsi yang di hidangkanpun sungguh banyak. Tapi entahlah, aku tak terlalu menikmati kelazatan itu. Aku makan antara lahap dan tidak, begitu juga dengan sebagian para sepupuku. Para bapak, sepertinya makan dengan begitu lahap, seakan mereka tak tahu dengan beberapa kejadian hari ini. Yah, itulah hebatnya para bapak sebagai kaum adam, sangat hebat dalam menyembunyikan perasaannya. Tapi para ibu sebagai kaum hawa yang sangat peka dengan perasaan, tak bisa menyembunyikan luka hati dari raut wajah mereka. Walaupun senyum dan tawa semeringah tapi senyum itu senyum luka, luka bagai teriris sembilu.
Setelah makan siang, Emak terguling di kasurnya dan tertidur. Di samping Emak ada sepupuku yang masih balita. Dia telah lelap tidur sebelum Emak terguling di sana. Di atas kasur yang berasal dari kapuk, sedikit keras dan dengan sprai berwarna biru laut. Emak tidur lelap tanpa memperhatikan sekitarnya.
Saat Emak bangun mentari tak lagi bersinar penuh. Sore telah datang. Di atas kasur kapuk dengan seprai berwarna biru itu, ada bercak noda air berwarna kuning. Terlihat masih sangat baru, dan masih terasa sangat basah. Emak kencing di kasur. Saat Emak bangun kasurnya basah. Emak lansung teriak dan mengomel, “ Hey anak siapa ini? Dia kencing di atas kasurku! Tak sopan sekali. Mana ibunya? ”.
  Emak menyalahkan cucunya yang juga tidur di sampingnya. Tak lama, tante dan bibiku datang ke kamar dan langsung memeriksa keadaan di sana. Tante langsung menggendong Nisa anaknya yang merupakan sepupuku. Tante bingung, dirabanya pantat Nisa, celana Nisa tak basah sama sekali. Lalu tante pegang kasur itu, tante semakin bingung karena kasur sangat basah saat itu.
Emak, Nisa tidak pipis. Celananya tidak basah. Mungkin ini air siapa yang tumpah. jawab tante bingung
Ah, tidak mungkin! Jelas – jelas celana saya basah. Mana mungkin kalau tidak anak mu itu. Hanya ada kami berdua saja tadi waktu saya bangun. ” Omel Emak.
Bibi mengalihkan perhatiannya ke bawah, ke sarung yang Emak kenakan. Sarungnya sangat basah, tetes air masih berjatuhan. Semakin lama bibi memerhatikan hal itu, tetes air semakin banyak yang jatuh. Bibi pegang kaki Emak. Benar – benar emak kencing di sana saat itu. dan dia tak merasakan sama sekali. Lalu Emak ngomel lagi. Omelan Emak terus berlanjut dan menyalahkan sepupuku yang masih kecil. Lagi dan lagi tanteku beruraian air mata.
Tak hanya hal itu saja, masih banyak perlakuan Emak yang aneh. Seperti, menyembunyikan pakaian anak – anaknya, melipat semua pakaiannya dan diletakkan di lemarinya kemudian bajunya itu dikeluarkan semua dan dia acak acak lagi, lalu dilipat lagi, acak - acak lagi, lipat lagi, terus begitu hingga kami harus menghentikan Emak. Kemudian Emak sempat pulang ke rumah nya sendiri jalan kaki. Sejauh puluhan km dan di sana ditemukan Emak tidur di depan teras rumahnya.
 Apakah memang Emak sudah pikun atau mata Emak memang sudah tak bisa melihat lagi atau Emak hanya ingin mendapatkan perhatian lebih dari anaknya. Emak berperilaku persis seperti anak kecil. Semua keluarga yang ada di rumah itu bingung dengan perilaku Emak. Perilaku aneh Emak terus berlanjut hingga kami bersiap – siap pulang ke rumah meninggalkan Emak lagi.
 Saat kami akan pulang. Ibu mengulangi perkataannya lagi, ‘apakah Emak masih ingat dengan ibuku?’ Kali ini Emak menyangka Mar itu adalah temannya dulu. Tetangganya dulu bukan anaknya. Dengan tiba – tiba Emak memeluk ibuku dan berkata “ Kapan kamu sampai di sini? ” Subhanallah, ibuku tak menjawab apa – apa. Pertanyaan itu dijawabnya dengan tetesan air mata dan Emak melepaskan pelukan itu. Ibu terus menangis dan anak – anaknya yang lain juga berbuat hal demikian, menanyakan apakah Emak tau dengan mereka. Ada sebagian yang Emak kira temannya, tetangganya, dan bahkan ada yang Emak tak kenal sama sekali. Tapi semua jawaban Emak tak ada yang benar, semua jawaban itu bermakna bahwa Emak tak memiliki anak sama sekali.
Tak ingin berlarut – larut, ibupun memberikan pelukan hangat perpisahan. Saat memeluk Emak, ibu memberikan sedikit bisikan untuk Emak, “ Emak maafkan saya dan keluarga saya Emak, mohon maaf lahir batin. Emak yang sehat yah di sini.
Tak disangka Emak merespon bisikan itu, “ Sering – sering ke sini yah! Biar aku ada teman. Jangan lupakan aku yah! Hati – hati di jalan.”
Bisikan singkat itu malah membuat tangisan ibu menjadi – jadi. Semakin ibu eratkan pelukan hangat itu, dan terus mencium Emak, “ Iya Emak, Insyaallah saya dan keluarga akan sering ke sini. Emak jaga diri yah, kami semua sayang Emak. ” Ibu tertegun dan menangis.
Saat ibu selesai menceritakan ulang hal ini, ada dua hal yang aku pikirkan, petama dia hanya bercerita dan kedua dia juga berharap aku tak melakukan hal itu kepada dia. Dan aku berjanji segenap jiwa ragaku, aku tak akan begitu, bu!

Comments

Popular

Lima Fakta yang Wajib Kamu ketahui Mengenai Kupu-kupu Gajah (Attacus atlas)

TERUSKAN SAJA SEMAUMU HINGGA USAI

OPPO Service Center Lubuklinggau Siap Melayani Kamu

Review Hikayat Putri yang Hilang "Silampari"

Potret Wisata Air Terjun Watervang, Lubuklinggau, Sumatera Selatan, 2017: Terlihat Sangat Alami