AKU INGIN MENJADI MATAHARI
Pagi buta ini, dingin. Cuaca mendung, berawan, namun tak gelap. Matahari masih berusaha menampakkan sinarnya seterang-terangnya, sehangat-hangatnya. Matahari memang begitu, ia tak peduli dengan apa yang terjadi. Yang terpenting adalah ia bisa hadir dan berguna.
Entah apakah bumi mengingatnya atau tidak? Entah bumi menginginkannya atau tidak? Yang terpenting Matahari tetep memberi tanpa pamrih. Mungkin Matahari tak punya hati. Ia selalu berusaha dan berusaha agar sinar dan hangatnya bisa sampai ke bumi.
Alangkah jauhnya pengandaianku pagi ini. Sekarang aku terduduk memandang laut antara Batam dan Singapura. Di atas kapal Feri. Deru angin bercampur ciprat air melembabkan mukaku. Rambut yang awalnya kering berasa lembab. Ya, ini masih pagi buta. Tapi tak terlalu buta, buktinya aku masih bisa melihat Matahari.
Ah ... lagi-lagi kembali tentang Matahari. Di mana pun ada Matahari.
Aku duduk di ambang kapal. Ada beberapa pemuda dan laki-laki yang agak tua. Mereka santai sambil menghisap rokok. Aku? Aku tak merokok. Aku hanya bisa memandangi air laut yang biru, langit yang kebiru-biruan ditutupi awan yang putih metalik.
Aku ingin menjadi Matahari, menyinari, menghangatkan, tanpa harus ada penjelasan. Toh semua masih berniat baik.
Comments
Post a Comment