KETIKA AKSARA MENJADI HIDUP, BERNYAWA, DAN BERNAPAS
Sedari malam tadi mataku tak bisa tertutup lama. Mungkin hampir setiap jam aku terjaga. Membuka mata lamat-lamat kemudian diam seribu bahasa. Aku melihat pria di sampingku ia tidur seperti tak bernyawa. Aku
juga memperhatikan orang yang berada di dekatku mereka masih dalam keadan tertidur lelap, sama.
Aku? Entah, aku tak tahu perihal apa yang membuat aku gelisah. Aku coba mengawasi jarum jam agar tetap berputar pada porosnya.
Jangan sampai jarum jam itu terhenti, mati, sehingga aku tak bisa melihat pagi. Sepertinya, pagi menjadi suatu yang sangat aku inginkan untuk dinikmati. Aku jengah dengan malam tadi yang tak henti terjaga dan selalu menenangkan hati.
Mentari mencoba menyeruakkan sinarnya dengan malu dan perlahan, tapi pasti. Aku menunggunya seakan dialah kekasih yang kunanti. Sedari tadi. Apalah daya, mentari tak dapat melawan, awan menyelimuti. Mencoba menghalangi. Namun, keberadaannya tetap ada, sinarnya tetap nampak terpatri. Hanya saja wujudnya yang tak nampak jelas di mata ini.
Ah ...
biarkan saja. Yang terpenting, mentari sudah mencoba hadir dan sinarnya tetap
ada. Hadirnya masih tetap terasa apalagi hangatnya.
Aku rasa,
hangatnya cukup untuk menghangatkan bus berlapis besi yang aku tumpangi ini. Sedari
kemarin pagi. Jarum jam berdentang pasti. Namun, hanya aku yang bisa
mendengarnya dengan pasti. Ya ... tepatnya sedari malam tadi. Sepertinya aku
telah terkoneksi dengan waktu yang terus memanjati pikiranku hingga aku jadi
begini.
Pria di
sampingku terbangun dan masih terdiam sepi. Ya ... memang hari ini sudah
menjadi pagi. Namun, mungkin rohnya belum sepenuhnya terkumpul dalam diri.
Tak lama, ia
mengambil air mineral botol di sampingnya. Ia minum beberapa teguk, kemudian matanya terlihat benar-benar terjaga. Ia menatap sekitar, termasuk aku, orang di sampingnya. Kemudian ia bertanya, "mengapa sedari malam tadi kau gelisah? Seperti tak tenang."
Aku terhenyak, tertegun, dan diam seribu aksara dalam sunyi. Ternyata ada yang memperhatikanku tanpa aku sadari. Aku coba menjawab dengan berhati-hati, "aku telah membunuh Abadi hingga mati!" Kemudian, aku kembali diam dan mencoba mengendalikan diri. Pria di sampingku ini juga diam sambil mengernyitkan dahi. Mungkin ia bertanya dalam hati, "siapa Abadi yang ia bunuh hingga mati?"
Comments
Post a Comment