SURVIVE


Inilah yang selalu kutunggu. Telah lama kita tak menghabiskan waktu bersama di alam lepas. Kaki gunung dengan pemandangan danau luas tepat berada di hadapan kita. Tepi danau ini menjadi saksi kerinduan kita yang terlanjur memuncak sedari lama.

Aku dan kau duduk berdampingan. Memegang pancing dengan kail tanpa umpan. Mengapa demikian? Kita hanya berharap ikan yang tak waraslah yang akan tersesat pada kail tak berumpan itu. Sama seperti cinta kita yang gila ini. Namun, itu hanyalah alasan, faktanya kita di sini bukan untuk memancing ikan.

Cuaca dingin, membuat kita saling menghangatkan, baik secara fisik maupun batin. Kita tak bicara, tak juga berpandangan. Namun aku merasakan hati ini riuh dengan kata cinta dan rindu. Ah ... sudah lama kita tak merasakannya.

Kita ... sama-sama menyukai alam bebas. Sebebas waktu yang kita punya ketika berdua. Tak ada jadwal, tak ada tuntutan, tak ada arah, yang terpenting, kita tetap selalu bersama. Apapun itu kondisinya.

Seketika itu, dalam keheningan yang mengerogoti kita, pikirku melesat. Ketika waktu itu, aku dan kau menghabiskan waktu bersama mengejar matahari; menangkap senja dan kehilangan fajar karena terlalu lelap dalam kebahagiaan. Itulah salah satu momen yang terlintas dalan neuron otakku saat itu.

Ketika pikirku kembali pada labuhannya, kita masih terisap sunyi. Namun, entah mengapa tetiba kau mengajakku menaiki kano yang tak bertuan itu. Entah mengapa juga, aku dengan mudah mengangguk setuju. Pikiran dan hatiku berhasil kau curi. Ah ... bukannya itu sudah lama. Aku hanya lupa.

Kita menaiki kano merah darah itu dengan tenang. Kau memegang satu dayung pun aku. Kau mengambil alih perjalanan menyusuri danau ini. Aku hanya mengikuti. Satu-dua-tiga-empat-lima- ... dan seterusnya, dayungan terus kita kayuh.

Perjalanan semakin jauh, kita telah melewati tengah danau, mungkin. Terlihatlah sebuah pulau di depan kita. Awalnya pulau atau daratan ini tak terlihat, mungkin tertutup kabut. Pulau ini membelah danau menjadi dua haluan. Kiri dan kanan. Kau menyuruhku mengambil keputusan arah mana yang akan kita ambil. "Kanan" jawabku bernada perintah.

Jalur itu membawa kita pada lajur yang semakin menyempit. Teratai, tumbuhan air, dan pohon tepi danau (entahlah apa nama pohon itu) seakan ingin menguasai lajur itu sehingga yang terlihat seakan hanya tumbuhan-tumbuhan yang di-kuahi oleh air.

Kau tak berucap pun meminta pendapat. Kau terus mengayuh kano itu pun aku. Hingga akhirnya lajur itu melebar dan kita bisa bernapas lega. Tapi, kita tak tahu di mana kita berada. Setidaknya keadaan kiri-kanan tak seserut tadi.

Kau membalikkan badan menghadapku. Kita berhadapan. Kau tersenyum manis. Selalu manis. Namun, aku terhenyak. Jeram ada di depan kita. Bagaimana bisa? Ini, danau atau sungai? Kita sama-sama tak tahu. Aku terkejut tanpa sempat mengeluarkan suara. Kita terhempas. Menyenggol sebongkah batu. Untung kano itu lumayan kuat. Tak bocor. Kita masih selamat.

Kita mencoba menyeimbangkan kembali kano yang kita tumpangi. Kita berhasil. Namun, kita kembali dihadapkan oleh persimpangan dan kita menyepakati tetap mengambil lajur kanan. Berharap itu adalah jalan kembali ke tepi danau sebelumnya. Ternyata arah yang kita ambil membuat kita menghujam daratan. Sebelum kita terpental dan terhanyut.

Sejak setelah itu, pita suaraku seakan terkunci. Sekarang aku mempersilakanmu membaca reka ulang yang mungkin sempat kau lupakan karena aku belum bisa bersuara. Entah tak tahu penyebab pita itu terkunci. Jelasnya, itu semua bukan disengaja. Kita hanya mencoba bertahan dan mempertahankan.

Comments

Popular

Menikmati Alaminya Wisata Danau dan DAM Gegas, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan

OPPO Service Center Lubuklinggau Siap Melayani Kamu

5 Tips Liburan Ala Film Brave (Walt Disney)

Puisi Resah Sang Pencari Kerja

Gajah Mada adalah Gaj Ahmada