KATA NENEKNYA
Aku terlanjur letih. Mataku terpejam tanpa disadari. Sepertinya aku tertidur sesaat setelah pesawat lepas landas. Ah ... aroma pesawat ini membuatku tenang. Aku tertidur dengan tenang. Tak tahu berapa lama.
Aku rasa, ini hal yang wajar. Minggu ini, kegiatanku terlampau padat. Pekerjaan kantor, urusan keluarga, belum lagi urusan kegiatan yang lainnya. Hem ... jika memungkinkan, ingin rasanya diri ini dibelah-belah agar bisa meyelesaikan semuanya.
Perjalanan Jakarta-Jambi pada pagi hari buta itu sangat tak berasa lama. Namun memiliki arti yang teramat. Aku terjaga sekitar 10 menit sebelum pesawat mendarat. Aku masih terduduk lemas. Sepertinya nyawaku belum terkumpul sepenuhnya.
Tetiba saja perempuan yang duduk di sebelahku memecahkan lamunku, "capek banget kayaknya, bang. Dari awal terbang sampe udah mau turun baru bangun. Tidurnya nyenyak banget, bang." Perempuan itu tersenyum tipis seakan menahan ketawa.
Melihat reaksinya begitu, batinku berkata, 'sepertinya ada yang salah di mukaku. apakah ada iler di mukaku tanpa aku sadari?' Aku pun langsung mengusap-usap mulutku. Takutnya aku tadi betul-betul membuat pulau yang nampaknya menempel di pinggir bibirku. Alangkah malunya aku kalau benar ada.
Sesaat kemudian aku baru merespon perkataan perempuan tadi, "iya neng, lagi ada panggilan wawancara di Jakarta."
"Owh ... abang lagi cari kerja?"
"Emh ... bisa dikatakan seperti itu. Tapi sekarang masih kerja kok."
"Lah ... kok? Mau resign? Atau habis kontrak?"
"Mau cari kerja yang lebih baik dari sekarang neng."
"Emang yang sekarang kurang baik bang?"
"Bukan kurang baik sih. Tapi ... kalau bisa lebih dari ini kan ... ya ... kenapa tidak?!"
"Manusia memang kadang tak pernah puas ya, bang?!"
"Bukan merasa tak puas. Bukan juga merasa tak bersyukur. Namun ...."
"Aku pernah dinasihati nenekku, katanya, 'hidup di dunia ini yang penting itu dapat berguna bagi semua orang. Tak harus muluk-muluk, punya jabatan tinggi, punya gaji yang besar. Toh kita hidup di dunia ini cuma sementara.'" Aku diam, dia pun berhenti bicara sejenak.
Kemudian ia melanjutkan petuah dari neneknya, "kata nenekku, 'cobalah hidup seperti Kamu akan mati esok. Belajarlah seolah Kamu akan hidup selamanya.' Berat sih nasihatnya tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya juga loh bang."
Aku tak dapat berpikir lebih dalam lagi, antara enggan berpikir atau menyetujui nasihat neneknya itu. Namun, aku menanggapinya dengan senyum dan ketawa kecil. Tapi, entah mengapa pikirku masih terngiang akan percakapan singkat itu.
Comments
Post a Comment